Sempat alami kesulitan dalam penggalian data
Dalam penulisan buku Te Tegal: Antara Sejarah, Budaya, dan Legenda dan buku sejarah Tegal lainnya, ungkap Zubaedi, sempat mengalami kesulitan dalam penggalian data.
“Ada kesulitan penggalian data karena banyak serat yang masih disembuyikan. Entah itu karena khawatir rusak atau apa, yang jelas banyak yang disembuyikan,” tutur suami dari Nur Laeli itu.
Dengan tekad yang keras, Zubaedi akhirnya mampu mengatasi kesulitan dan menyelesaikan karya terbarunya itu. Sebagaimana judulnya, buku Te Tegal: Antara Sejarah, Budaya, dan Legenda berisi tentang sejarah, budaya, dan legenda yang pernah terjadi di tanah Tegal, mulai dari era purba hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
BACA JUGA: Sinopsis dan Hal Menarik dalam Buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya
BACA JUGA: Sejarah Tuk Jimat di Bumijawa Tegal, Konon Berawal dari Kenong yang Ditemukan Bangau Putih
Memuat hasil penelusuran ke Semedo dan candi-candi
Dalam buku tersebut memuat hasil penelusuran Zubaedi ke Semedo. Kemudian, ke candi-candi yang menggambarkan adanya pengaruh Hindu-Budha di Tegal. Candi-candi dimaksud antara lain Candi Kesuben, Candi Bulus, Candi Bumijawa, Candi Anjing, Candi Sidamulya, Candi Karangjambu, Candi Limbangan, Candi Batur I, Candi Batur II, dan Candi Budo.
Zubaedi juga memotret perkembangan agama Islam di Tegal melalui penelusuran ke makam-makam. Cerita dimulai dengan kisah Syekh Sayyid Abdurrohman dan Syekh Sayyid Abdurrohim. Mereka adalah kakak beradik berasal dari Baghdad, Irak, yang kemudian dikenal dengan sebutan Mbah Suro Ponolawen dan situsnya ada di Desa Pagiyanten, Kecamatan Adiwerna.
Selain Mbah Suro Ponolawen terdapat kisah Syekh Maulana Maghribi, Mbah Panggung, Ki Ageng Balamoa, hingga tentu saja, Ki Gede Sebayu, sang perintis pemerintahan Tegal. Menurut Zubaedi, Ki Gede Sebayu memiliki kiprah yang luar biasa, sehingga masyarakat mengangkatnya sebagai sesepuh Tegal pada urutan pertama.
Buku ini juga memuat penelusuran Zubaedi tentang lokasi pohon jati yang disayembarakan Ki Gede Sebayu untuk membuat masjid di Kalisoka. Karena membutuhkan banyak kayu untuk pembangunan masjid, Ki Gede Sebayu membuat sayembara itu dan pemenangnya akan dinikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu, Raden Ayu Giyanti Subhalaksana.
BACA JUGA: Sejarah Slawi: Sayembara Putri Ki Gede Sebayu dan Pohon Jati Ajaib yang Kini Jadi Masjid Kalisoka
Dikisahkan sebanyak dua puluh lima pendekar mengikuti sayembara ini. Pendekar nomor terakhir lah yang ternyata mampu merobohkan pohon jati tersebut.
Dia adalah Ki Jadug atau Pangeran Purbaya, yang kemudian menjadi menantu Ki Gede Sebayu. Jumlah peserta sayembara disebut-sebut yang mengilhami penamaan Slawi, yaitu dari kata selawe atau dua puluh lima.