Ambang pintu sejarah terbuka, dan kabar sayembara tersebar seperti api yang menjalar. Sebentar saja, lautan perjaka dengan tekad baja menghampiri tantangan ini.
Dalam cahaya fajar, dua puluh lima pria gagah bergegas datang dari berbagai penjuru. Di tangan mereka, pethel tajam, alat yang akan mengukir jejak dalam sejarah.
Dalam kebersamaan dan semangat, mereka berkumpul menghadapi peristiwa yang bakal mengubah jalan hidup.
Aduhai, suasana semakin terasa di ujung tanduk. Matahari merosot perlahan, dan Jiwa Ki Gede Sebayu bergetar dalam doa yang tak putus.
Di sisi lain, Rara Giyanti tampak pucat dan hatinya berdebar. Air mata terasa mendekat ketika matanya terangkat untuk bertemu pandangan ibunya.
Penuh keraguan dan ketakutan, namun hatinya membara, siap untuk mengejar keberanian yang tak terduga.
Takdir memainkan permainannya, dan pada saat-saat genting itulah, seorang santri muncul. Diiringi oleh sekelompok pemuda sopan, Ki Jadug, sang santri, hadir di dalam gelanggang.
Keterlambatannya memupuk banyak tanya, tetapi izin pun diberikan oleh Ki Gede Sebayu. Dalam keteduhan sejenak, Ki Jadug mengucapkan selamat dan memilih untuk berwudhu sebelum beraksi.