Mitos Gelar Haji yang Hanya Ada di Indonesia, Pemberian Belanda Agar Gampang Awasi para 'Pemberontak'

Senin 31-07-2023,07:26 WIB
Reporter : Zuhlifar Arrisandy
Editor : Zuhlifar Arrisandy

Penyematan gelar haji oleh Belanda sejak 1916, bukanlah gelar kehormatan. Tetapi sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran paham Pan-Islamisme, yang mulai berkembang massif awal abad ke-20.

Belanda beranggapan dengan menyematkan gelar haji di depan nama setiap orang muslim pribumi, mereka akan mudah diawasi. Apalagi  saat itu semangat kemerdekaan terus digaungkan tokoh-tokoh Islam di Tanah Air, utamanya mereka telah menunaikan ibadah haji.

Itulah sebabnya pemberian gelar haji sebenarnya merupakan politik licik Belanda. Karena Belanda mengidentikan mereka yang sudah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebagai bibit pemberontak pada masa itu.

Ada beberapa tokoh yang melatarbelakangi politik licik Belanda tersebut. Bahkan beberapa tokoh Islam itu sukses menggelorakan semangat kemerdekaan dengan melawan kolonialisme usai beribadah haji.

Misalnya pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan pada 1912 dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari pada 1926. Lalu ada pula KH Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905 dan pendiri Sarekat Islam (SI), HOS Cokroaminoto pada tahun 1912.

Saking takutnya, Belanda bahkan tidak hanya memberi gelar haji, tetapi juga mewajibkan pemakaian atribut-atribut khas haji. Yakni menggunakan kopiah putih dan pakaian seperti jubah dan surban, agar bisa membebedakan dengan warga pribumi biasa. 

Itulah informasi tentang mitos dan sejarah pemberian dan penyebutan gelar haji yang hanya ada di Indonesia, untuk orang yang sudah menuinaikan ibadah haji ke Tanah Suci.(*)

Kategori :