Dewa Agung Jambe Puputan Klungkung
Pada tahun 1906, Belanda mengirim pasukan mereka untuk menaklukkan Klungkung dan merebut kekuasaan kerajaan.
Raja Klungkung saat itu adalah Dewa Agung Jambe. Alih-alih menyerah, sang raja bersama seluruh keluarganya dan pengikutnya memilih untuk melakukan puputan, yaitu perlawanan dengan menghadap langsung pasukan Belanda sambil memegang senjata tajam dan keris.
Mereka percaya bahwa puputan adalah tindakan kehormatan yang lebih baik daripada menyerah pada penjajah.
Pertempuran Sengit di Keraton Klungkung
Pertempuran di Keraton Klungkung berlangsung sengit dan penuh keberanian. Meskipun pasukan Klungkung jauh kalah jumlah dan persenjataan, mereka bertempur dengan semangat yang tiada duanya.
Tidak ada seorang pun yang mundur, dan mereka terus melawan hingga titik darah penghabisan. Pertempuran ini mencatat banyak korban jiwa di kedua belah pihak, namun semangat perlawanan rakyat Bali terus berkobar.
Tragedi Puputan Klungkung
Pertempuran di Keraton Klungkung berlangsung selama berhari-hari, dan akhirnya, pasukan Belanda berhasil masuk ke dalam kompleks keraton.
Dewa Agung Jambe, sang raja, bersama seluruh keluarganya dan para pejuang, memilih untuk bunuh diri dengan mengenakan kain putih sebagai tanda kehormatan.
Mereka memilih mati daripada hidup di bawah penjajahan Belanda. Tragedi ini menjadi momen bersejarah yang mencatat semangat perlawanan yang luar biasa dari rakyat Bali.
Pengakuan dari Pihak Belanda
Meskipun berhasil merebut kekuasaan di Klungkung, Belanda tidak bisa mengabaikan semangat dan keberanian para pejuang dalam menghadapi puputan.