RADAR TEGAL - Salah satu situs yang menjadi saksi sejarah di Pemalang adalah Situs Watu Lumpang. Situs Watu Lumpang Pemalang ini adalah peninggalan nenek moyang yang masih ada sampai sekarang.
Situs Watu Lumpang ini terletak di Pemalang, tepatnya di Desa Cikendung. Desa ini terletak di sebelah timur kaki gung slamet.
Untuk menuju situs ini, perlu perjalanan sekitar 1,5 jam jarak dari pusak kota. Berkunjung di sini memberi pengalaman yang menarik.
Selain tempatnya yang indah, ternyata situs ini memiliki kisah pengkhianatan dari cinta yang tulus. Selain itu, situs watu lumpang di percaya masyarakat sekitar bahwa batu ini memiliki kekuatan magis.
Watu Lumpang ini berbentuk memanjang ke atas dan terdapat lubang di bagian atas batu yang dalam dan dasarnya tidak bisa dijangkau oleh tangan.
Tempat berdirinya Watu Lumpang ini sering didatangi oleh orang-orang yang hendak mencari berkah. Orang-orang itu biasa datang di hari Jumat dan memberikan sesaji di sekitar batu lalu memeluk batu itu sebagai bagian dari ritual.
Penduduk lokal mengatakan jika datang dengan tidak ada kepentingan di area Watu Lumpang pada hari keramat, yaitu Jumat, dipercaya akan terserang penyakit.
BACA JUGA:Nostalgia Nonton Bioskop di Pemalang: Kini hanya Jejak Romantisme Masa Lalu di Kota Ikhlas
Kisah Pengkhianatan Dibalik Watu Lumpang
Selain situs yang mempunyai sejarah panjang, ternyata ada kisah tragis dibalik cinta yang tulus. Menurut legenda yang dipercaya, kisah Watu Lumpang ini berawal dari seorang Kyai bernama Calam yang sakti mandraguna, hendak mencari istri karena dirinya sudah dewasa.
Ibunya, Nyai Karsih, meminta dia untuk tapa brata di sebuah mata air selama 7 hari dan 7 malam. Saat masa tapa bratanya selesai, Calam terbangun karena mendapat bisikan bahwa ada seorang putri cantik bernama Nyai Carang Lembayung yang tinggal tidak jauh dari Desa Cikendung.
Kemudian Calam menceritakan wangsit itu kepada ibunya dan ibunya menceritakan pula kepada sesepuh desa, yaitu Mbah Kyai Tuwuh Wijaya. Oleh karena saran Mbah Tuwuh untuk segera melamar Nyai Carang Lembayung, Nyai Karsih mencari hari yang baik untuk melakukan lamaran.
Setelah mendapatkan hari baik, Nyai Karsih menemui Nyai Carang Lembayung yang tinggal di sebuah lembah yang sekarang dikenal sebagai sebutan Candi Kendal, perbatasan dengan Desa Cikendung sebelah utara.
Mbah Gunung Slamet, ayah dari Nyai Carang Lembayung menerima lamaran Nyai Karsih dengan syarat, disaat hari besanan, tidak boleh ada seorangpun yang mengetahui. Kalau sampai ada yang mengetahui, semua barang bawaan akan menjadi batu arca.
Setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, akhirnya hari yang ditunggu, yaitu hari Selasa bulan ganjil menjadi hari untuk besanan. Segala sesuatunya sudah dipersiapkan, seperti makanan hingga alat dapur, seperti lumpang, pawon dan perlengkapan lainnya.
Dengan kesaktiannya, Calam membuat barang bawaannya mengikuti dia dan karena syaratnya tidak boleh ada yang tahu, maka Calam dan ibunya Nyai Karsih berangkat pada pagi-pagi buta.