Kerja sama dalam aspek sosial ekonomi, dan internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila kepada eks napiter dan keluarganya akan membuat eks napiter memiliki pendirian dan kecintaan kepada negara.
Peran pemerintah sampai tingkat desa/kelurahan dengan otonomi mengelola masyarakat dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya juga menjadi langkah yang bagus untuk deradikalisasi dan internalisasi nilai Pancasila.
Arif menjelaskan, ketika seorang teroris ditangkap, maka ada keluarga, ada istri, dan anak yang ditinggalkan di rumah. Jika yang ditangkap kepala keluarga maka keluarga yang ditinggalkan butuh menopang kebutuhan.
Di sinilah peran pemerintah bisa lebih tepat dengan memberikan kepastian kebutuhan keluarga tercukupi. Sebab, momen ini juga digunakan oleh jaringan teroris untuk masuk dan mengambil keluarga yang ditinggalkan.
"Mereka yang ditangkap itu korban dan yang terdampak adalah keluarganya. Maka kita coba berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka ini juga masyarakat, keluarga kita, dan berpikir yang kita perangi adalah perbuatannya bukan orangnya. Kita harus selamatkan keluarganya agar terputus dengan jaringan mereka (radikal)," papar Arif.
Densus 88 sudah memulai disengagement dengan keluarga yang ditinggalkan sejak penangkapan teroris. Mulai soal pendidikan hingga kesehatan. Sebab deradikalisasi pelaku menjadi susah ketika keluarga mereka lebih dulu ditarik mauk ke jaringan.
Kerja sama dan kolaborasi antara Densus 88 dengan pemerintah daerah juga terkait pencegahan radikalisasi di kalangan pelajar. Menurut Arif, pola mengajak eks napiter untuk berbicara tentang bahaya radikalisme dan bagaimana proses masuknya merupakan cara efektif.
"Ini kami anggap lebih efektif karena anak-anak sangat rentan tetapi ketika diceramahi oleh penyintas menjadi lebih efektif untuk sebagai narasumber," ungkapnya. (*)