Wacana penundaan pemilu 2024 yang diusulkan oleh para elit partai politik dan kalangan menteri mendapat sorotan tajam dari pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.
Dia menilai, wacana yang dikemukakan oleh pemimpin partai itu merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi.
"Saya kira saya pakai kata yang lebih keras, pengkhianatan sebenarnya,” kata Bivitri.
Bivitri Susanti menyebut, para aktor yang mewacanakan penundaan pemilu adalah intelektual kelas kambing.
"Cukup banyak intelektual saya bilangnya intelektual tukang, tapi sebenarnya ada kata yang lebih kasar lagi ya, intelektual kelas kambing,” ujar Bivitri Susanti saat hadiri acara diskusi virtual Kedai Kopi, dikutip Selasa (8/3).
Bivitri menekankan, konstitusi bukan sekadar teks dan politik bukan sekadar matematika. Sebab, kalau hanya ingin mengubah konstitusi, menurut Bivitri mudah.
“Mengapa dulu kita enggak dorong di perubahan konstitusi untuk dibuat layer berikutnya seperti referendum, atau seperti di tempat-tempat lainnya ada, biasanya enggak semudah yang diatur dalam Pasal 37 UUD (syarat amandemen) kita,” urai Bivitri.
“Pasal 37 UUD 1945 yang sekarang itu hanya mengatur sepertiga saja dari jumlah anggota MPR yang terdiri dari DPR/DPD, jadi 575 ditambah 136, itu sudah bisa mengagendakan perubahan konstitusi,” tambah Bivitri.
Dia mengatakan, munculnya gagasan pembatasan masa jabatan presiden lahir dari para tokoh bangsa yang berguru ke negeri barat.
Dikutip dari Fin.co.id, dalam aturan itu, penguasa harus dibatasi melalui hukum aturan mainnya yang disepakati bersama.
Dalam perspektif negara hukum, pembatasan kekuasaan itu dinamakan konstitusionalisme. Para pendiri sudah jauh-jauh hari menuliskan lantang dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945. (ima/rtc)