Tim ITB lantas maju lebih tinggi lagi. ITB bisa menciptakan D100. Yakni, minyak sawit diubah menjadi 100 persen minyak diesel. Tanpa dicampur-campur lagi.
Kelemahannya: bahan baku D100 itu masih dari CPO sawit. Terlalu baik. Artinya: bahan baku itu terlalu mahal.
Aslinya, CPO disiapkan hanya untuk minyak goreng. Atau sabun dan sebangsanya. Bukan untuk bahan bakar.
Perusahaan sawit hanya mau memproduksi CPO karena tujuan akhir mereka sama: agar bisa diubah menjadi minyak goreng.
Padahal, kalau tujuannya untuk dibuat D100 atau bensa, tidak perlu sampai diproses menjadi CPO. Berarti, diperlukan pabrik lain: namanya, pabrik IVO. Bukan pabrik CPO.
Maukah perusahaan perkebunan sawit membangun pabrik IVO untuk bahan baku D100 dan bensa?
Tidak mau.
Mereka pilih membangun pabrik pengolah sawit untuk memproduksi CPO. Pabrik itu disebut PKS –pabrik kelapa sawit.
CPO bisa dijual ke pabrik minyak goreng. Di dalam maupun ke luar negeri. Harga CPO sangat baik saat ini –termahal dalam sejarah sawit: 1.400 dolar AS/ton.
Saking mahalnya, sampai ada yang justru menjual perusahaan sawitnya. Salah satunya adalah pengusaha besar yang sangat terkenal. Aneh? ”Justru ketika mahal, harus dijual. Kalau kelak murah, baru beli lagi.”
Ganjil, tapi masuk akal.
Para pengusaha sawit tentu bertanya: kalau kami membangun pabrik IVO, siapa yang membeli? Dengan harga berapa?
Tidak akan ada yang bisa menjawab.
Karena itu, para pengusaha sawit akan tetap pilih masuk ke PKS.
Itulah sebabnya, ITB akan membangun sendiri pabrik IVO. Dari IVO diolah lagi menjadi bensa.
Kelebihan bensa dari bensin adalah RON-nya. RON bensin yang kita kenal adalah 93 –atau di bawah itu. Sedangkan RON bensa dari IVO bisa sampai 112.