"Agar istri tidak meninggal, nyawanya harus disambung," ujar sang laokao –kira-kira saja begitu. Cara menyambung nyawa itu adalah: harus ada istri kedua.
Dirundingkanlah "resep" laokao itu dengan sang istri. Setuju. Sang suami pun kawin lagi. Istri pertama sembuh. Keduanyi hidup rukun. Anak-anak pun lahir dari istri kedua.
Sepuluh tahun kemudian istri kedua pun sakit keras. Resep laokao sama: harus dicarikan sambungan nyawa. Itulah alasan perkawinan dengan istri ketiga. Tiga-tiganyi hidup rukun. Punya anak-anak pula.
Lalu, Anda sudah tahu kisah berikutnya. Setidaknya Anda sudah bisa menebak: istri ketiga pun sakit keras. Tidak bisa disembuhkan. Harus dicarikan nyawa sambungan lagi: istri keempat.
Sebetulnya masih harus dicari satu lagi nyawa sambungan berikutnya. Memang istri keempat belum sakit. Tapi perkawinan keempat itu sudah hampir 10 tahun. Padahal, menurut laokao, papa Ongko harus kawin setiap 10 tahun.
Tapi sang Engkong sudah tua. Tidak mau lagi. Salah satu istrinya pun meninggal dunia. Ia sendiri juga menyusul meninggal dunia, 1980-an.
Inilah poligami damai yang tidak sampai digunjingkan seperti di PKS.
Awalnya Ongko Prawiro berbisnis tekstil seperti papanya. Tapi ia melihat temannya yang berbisnis di jalan yang sama. Toko di seberang jalan itu. Kok kelihatannya lebih enak: dagang kertas. Zaman itu, untuk kulakan kertas harus menyerahkan uang di muka.
Ongko pun ikut dagang kertas. Sama-sama barang lembaran, kertas tidak serumit tekstil. Di tekstil terlalu banyak corak. Setiap muncul corak baru, corak lama kurang laku. Uang banyak mati di stok lama. Padahal kian lama kian banyak corak baru. Kian cepat pula pergantian corak itu.
Beda dengan di kertas –yang hanya punya dua corak: putih dan putih sekali. Atau cokelat tebal dan cokelat tipis. Baru belakangan ada kertas aneka-warna.
Dari dagang kertas itu Ongko menyalip teman di seberang jalan: naik ke industri kertas. Ongko membangun pabrik kertas sendiri. Papanya kurang setuju, tapi Ongko ingin lebih maju dari sang papa.
Pabrik itu ia bangun di Kertosono.
Kok jauh dari Surabaya?
"Harus dekat dengan pabrik gula. Bahan bakunya ampas tebu," ujar Ong Mardi Hartono, anak laki-laki satu-satunya dari lima anak Ongko. Otomatis Mardi yang jadi pimpinan puncak di Jaya Kertas sekarang ini.
Waktu itu pabrik kertas tidak diizinkan berdekatan. Agar tidak rebutan ampas tebu dari pabrik gula yang sama. Pabrik kertas Pakerin di Mojokerto. Surya Kertas di dekat pabrik gula Sidoarjo. Pabrik Kertas Leces di wilayah timur Jatim, dekat Probolinggo.
Pabrik Jaya Kertas terus berkembang. Apalagi di zaman beli-beli secara online sekarang ini. Diperlukan kian banyak kertas pembungkus.
Lalu berkembang lagi ke pabrik kertas tisu. Zaman ini seperti tidak bisa hidup tanpa tisu. Paperless memang sudah lama diramalkan bakal terjadi. Tapi dua jenis kertas itu kian diperlukan.