Persidangan kasus pembunuhan empat laskar Front Pembela Islam (FPI) di dalam mobil polisi menghadirkan saksi ahli, Dian Adriawan DG Tawang, Selasa (11/1). Keempat laskar FPI itu diketahui merupakan korban pembunuhan aparat.
Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti itu menilai empat laskar FPI yang tewas di dalam kendaraan milik aparat merupakan korban pembunuhan. Penilaian itu disampaikannya saat memberi keterangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta.
Dian menjelaskan perbuatan membunuh itu ditandai setidaknya oleh dua faktor. Pertama ada korban tewas dan kedua posisi tidak seimbang antara pelaku dan korban.
Terkait poin kedua, dia menyampaikan pelaku merupakan pihak yang punya kemampuan untuk melakukan tindak pidana pembunuhan. Misalnya, memiliki senjata, sementara korban tidak memegang senjata dan tidak mampu membela diri.
“Dengan adanya orang mati berarti ada perbuatan membunuh. Dalam hal ini yang diduga sebagai pelaku itu memegang senjata, sedangkan yang jadi korban tidak memegang senjata,” kata Dian saat menjawab pertanyaan Jaksa Zet Tadung Allo di persidangan.
Dalam persidangan, Zet membacakan fakta-fakta pada berita acara pemeriksaan (BAP). Antara lain empat anggota FPI itu telah digeledah dan dilucuti oleh polisi, sebelum mereka masuk ke dalam kendaraan untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.
Dari hasil penggeledahan, petugas menemukan senjata tajam, senjata api, dan butir peluru dari anggota FPI tersebut.
“Artinya, empat anggota FPI itu tidak bersenjata saat berada di dalam mobil yang dikendarai petugas, sementara tiga polisi yang berada dalam kendaraan seluruhnya bersenjata lengkap,” katanya lagi.
Tiga polisi yang berada dalam kendaraan, yaitu Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan, Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella, dan mendiang Ipda Elwira Priadi.
Meski demikian, dia menilai hanya satu terdakwa yang bertanggung jawab atas kematian empat korban, yaitu Briptu Fikri Ramadhan. Pelaku penembakan lainnya, Ipda Elwira Priadi, sempat ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, dia meninggal dunia sebelum kasusnya masuk tahapan persidangan. Terdakwa lainnya, Ipda Mohammad Yusmin Ohorella dapat disebut melakukan pembantuan.
Dalam istilah hukum, yang juga diatur dalam ketentuan perundang-undangan, pembantuan merupakan keterlibatan pihak lain dalam peristiwa pidana, tetapi itu tidak menentukan akhir suatu peristiwa.
Yusmin, menurut Dian, dianggap melakukan pembantuan karena pada saat kejadian dia mengendarai kendaraan yang menjadi lokasi penembakan.
Dalam persidangan yang sama, Dian menerangkan adanya posisi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban menjadi penentu suatu peristiwa yang dapat disebut sebagai pembunuhan.
“Kalau berimbang itu bisa dikatakan sebagai pembelaan diri, tetapi kalau kondisinya sebaliknya tidak masuk dalam kategori itu,” imbuh Dian.