“Tax ratio yang terus melemah, mengindikasikan besarnya potensi pajak yang hilang,” ulasnya.
Di sisi lain, besarnya belanja terikat yang berada di kisaran 11 persen dari PDB, menurut Yusuf mengindikasikan inefisiensi sektor publik yang massif.
“Seluruh penerimaan perpajakan setiap tahunnya bahkan tidak mencukupi sekedar membiayai belanja terikat, seperti belanja pegawai, belanja barang, bunga utang dan transfer ke daerah,” ujarnya.
Yusuf mengatakan, kesenjangan antara kapasitas fiskal dan beban utang ini berpotensi melebar ke depan.
IDEAS memproyeksikan Tax Ratio akan pulih namun secara perlahan, pada 2024 baru akan beranjak di kisaran 8,6 persen dari PDB.
“Namun di saat yang sama, stok utang terhadap PDB meningkat sangat drastis, menembus 50 persen dari PDB pada 2024,” ucapnya.
Dengan kata lain, kata Yusuf berpotensi terbenam semakin jauh dalam jebakan lingkaran utang.
Yusuf menilai pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya adalah spekulatif.
Yaitu bahwa utang akan digunakan kegiatan produktif yang diproyeksikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari bunga utang.
Dengan begitu, penerimaan perpajakan yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, akan mampu mengembalikan pokok utang dan sekaligus menutup beban bunganya.
Namun kegagalan mendorong pertumbuhan dan menarik pajak darinya, harus dibayar dengan mahal yaitu berutang kembali.
“Dan di masa pandemi, kegagalan ini semakin masif dengan implikasi lonjakan utang yang sangat mengkhawatirkan,” tuturnya.
“Kegagalan pemerintah menanggulangi pandemi semakin memperparah lingkaran jebakan utang ini,” tandas Yusuf. (muf/pojoksatu/ima)