Posisi stok utang pemerintah awal pandemi, per Maret 2020, telah menembus Rp5.000 triliun.
Digulirkannya stimulus untuk melawan pandemi kini, per Juni 2021, menembus Rp6.500 triliun rupiah.
Sehingga, utang Republik Indonesia diprediksi akan tembus mencapai Rp9.800 Triliun di akhir masa jabatan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Demikian disampaikan Direktur Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono dalam keterangannya, Jumat (28/8).
“Setelah pandemi, kecenderungan ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Dalam 1,5 tahun sejak pandemi, stok utang bulanan pemerintah rata-rata bertambah 102,2 triliun rupiah,” ujarnya.
Kemudian utang tersebut, melonjak 3 kali lipat dari stok utang periode Oktober 2014 sampai Desember 2019 yang berada pada kisaran 35,2 triliun rupiah.
Menurutnya, pada periode pertama pemerintahan Jokowi, stok utang pemerintah bertambah 2.155 triliun rupiah.
“Maka pada periode ke-2 (Oktober 2019-Oktober 2024) diproyeksikan stok utang pemerintah akan bertambah 5.043 triliun rupiah,” paparnya.
Ia menyebutkan, kenaikan stok utang pemerintah era Jokowi ini sangat luar biasa bila dibandingkan dengan periode ke-2 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Stok utang pemerintah masa SBY ‘hanya’ bertambah 999 triliun rupiah,” ungkap Yusuf.
Ia melanjutkan, melonjaknya beban utang yang kini mencapai 39,4 persen pada 2020 berakar dari rendahnya penerimaan perpajakan.
Ketika ketergantungan terhadap utang semakin meningkat, di saat yang sama, kinerja penerimaan perpajakan justru semakin menurun drastis.
“Dari kisaran 11,4 persen pada 2012, tax ratio (penerimaan perpajakan) terus menurun hingga 8,3 persen dari PDB pada 2020,” terangnya dikutip dari Pojoksatu.
Rasio stok utang pemerintah terhadap penerimaan perpajakan melonjak drastis.
Itu dari kisaran 250 persen pada 2015 menjadi kisaran 475 persen pada 2020, jauh di atas batas aman 90-150 persen.