Oleh: Dahlan Iskan
SAYA merasa ikut bersalah. Saya pernah mengangkat orang seperti Emirsyah Satar menjadi dirut Garuda Indonesia. Yang belakangan ternyata terbukti melakukan korupsi. Lewat cara yang tidak mungkin saya ketahui. Juga tidak bisa diketahui oleh pengusaha besar yang begitu ''keras'' dalam menyikapi keuangan: Chairul Tanjung.
Padahal CT itu –begitu boss CTCorp itu biasa dipanggil– adalah pemegang saham yang cukup besar di Garuda: hampir 29 persen.
Saya pernah berbicara dengan CT. Bertiga. Topiknya: bagaimana orang seperti ia dan saya bisa tertipu melihat Emirsyah Satar. Yang secara perusahaan, di bawah Satar, Garuda memang terlihat maju sekali. Kami begitu marah saat itu. Merasa dikhianati.
Korupsinya begitu canggih. Tidak ada lembaga pengawas di Indonesia yang bisa mengetahui. Tidak pula Dewan Komisaris Garuda. Korupsi Satar itu hanya bisa terbongkar justru karena ada peristiwa korupsi yang terungkap di luar negeri. Ternyata Satar mengambil komisi dari pengadaan pesawat Garuda.
Saya dan CT lama terdiam berdua. Kok bisa dikecoh oleh Satar. CT lebih marah lagi. Ia merasa pengorbanannya menolong keuangan Garuda seperti dicampakkan. Akibat menolong Garuda itu, CT sekarang dirugikan sekitar Rp 4 triliun.
Di swasta, untuk pengadaan barang yang begitu besar, bukan direksi yang melakukan. Melainkan pemilik perusahaan. Karena itu tidak perlu ada komisi. Komisi seperti itu harus dimasukkan dalam potongan harga barang. Dengan demikian perusahaan mendapat pesawat lebih murah.
Di swasta, kalau pun yang melakukan pembelian adalah direksi itu hanya tahap negosiasi. Kata akhir tetap ada pada pemilik perusahaan –pemegang saham.
Di swasta, yang biasa terjadi adalah begini: direksi sudah melakukan negosiasi untuk membeli sesuatu. Sudah ditawar habis. Harga sudah disepakati. Tapi untuk pembayaran harus melibatkan pemegang saham.
Di tahap itulah pemegang saham bertemu pihak penjual. Ia mengatakan tanpa basa basi: saya bisa menyetujui keputusan direksi saya, kalau harga itu dipotong sekian persen.
Artinya, negosiasi final ada di pemegang saham. Pemegang saham seperti CT, atau saya, biasa melakukan itu. Di swasta. Orang seperti kami biasa curiga. Jangan-jangan ada komisi di balik transaksi itu. Maka kemungkinan adanya komisi itulah yang kami ambil –untuk penghematan di perusahaan. Perusahaan bisa mendapat barang lebih murah.
Lama-lama direksi kami tahu: tidak ada gunanya berusaha cari komisi. Lama-lama membudayalah menjadi perusahaan yang lebih bersih.
Prinsip seperti itulah yang sulit dilakukan di BUMN. Apalagi BUMN yang sudah go public seperti Garuda. Pemegang saham tidak boleh mencampuri urusan direksi. Sama sekali. Begitu pemegang saham campur tangan akan dianggap melanggar UU.
Apalagi di BUMN itu begitu sering ganti direksi. Juga harus ganti pemegang saham tiap lima tahun –sesuai dengan jadwal Pemilu lima tahunan. Membudayakan perusahaan bersih sulit sekali dilakukan. Sebelum budaya bersih terbentuk sudah berubah lagi. Beda dengan di swasta. Yang pemegang sahamnya itu-itu terus. Yang direksinya itu-itu terus. Budaya apa saja bisa dibentuk dengan utuh di swasta. Yang jelek maupun yang baik.
Di BUMN juga sudah membudaya mengatur buku keuangan. Sebagian untuk menutupi kelemahan direksi yang sedang menjabat –karena ingin agar bisa terus menjabat. Sebagian untuk menutupi kelemahan direksi sebelumnya.