Ada Calon Hartanya Minus Rp3,5 Miliar Tetap Nyalon Pilkada, Ada Pula yang Cuma Punya Duit Rp15 Juta

Sabtu 05-12-2020,10:40 WIB

Jabatan pemilihan dengan persentase cakada petahana terbanyak adalah calon bupati yang diisi 206 orang petahana yang terdiri atas 127 orang Bupati dan 79 orang wakil bupati.

"Yang kita sebut petahana itu termasuk bupati atau wakil bupati yang maju untuk menjadi gubernur kita anggap petahana, kemudian sekretaris daerah maju kita anggap petahana karena dia orang pemerintahan," tuturnya.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri tingginya biaya politik yang harus disiapkan para cakada untuk maju pilkada.

"Pertama adalah gap antara biaya pilkada dan kemampuan calon, ini hasil penelitian. Hasil penelitian kita, ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon. Bahkan, dari LHKPN, itu minus," katanya.

Berdasarkan penelitian KPK, cakada harus menyiapkan uang kira-kira Rp 5-10 miliar. Bahkan, jika ingin dipastikan menang, harus menyiapkan Rp 65 miliar.

"Jadi wawancara indepth interview ada yang ngomong Rp 5-10 miliar, tapi ada juga yang ngomong, 'Kalau mau ideal, Pak, menang jadi pilkada itu bupati, wali kota, setidaknya punya uang ngantongin Rp 65 miliar'. Mati, dah, padahal dia punya uang hanya Rp 18 miliar, artinya minus," sebutnya.

Firli mengatakan besarnya selisih antara harta yang dimiliki dan biaya politik itulah yang membuat para cakada terbebani. Karena itu, menurut Firli, tak jarang cakada ini akan menjanjikan sesuatu kepada pihak ketiga yang mau memberikan bantuan dana untuk ikut pilkada.

"Alasan calon kepala daerah era ini sudah menggadaikan kuasanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum," ujarnya.

Ditambahkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, pihaknya hadir bukan untuk mengganggu kontestasi politik. Tetapi untuk pencegahan agar kepala daerah yang terpilih bukan produk gagal.

Karena itu, dia meminta, cakada bukan berlomba-lomba menjadi penguasa, melainkan pelayan rakyat. Jadi, aspirasi tidak berakhir pada jual beli kekuasaan.

Praktik jual beli kekuasaan hanya melahirkan penguasa lalai dalam melaksanakan tujuan bernegara. Maka, akan menciptakan kepala daerah yang gemar korupsi, dari sektor sumber daya alam (SDA), hingga sumber daya manusia (SDM).

"Kalau sudah begini, kita bernegara hancur, berpilkada inginnya mendapatkan pimpinan-pimpinan yang bagus, tetapi yang terlahir adalah pembeli-pembeli kuasa rakyat. Yang ketika duduk memperdagangkan kuasanya," tutur Ghufron.(gw/zul/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait