Nilai tukar rupiah menjadi faktor kedua. Pasalnya, laporan keuangan secara fundamental di Pertamina merujuk pada pembukuan dengan nilai mata uang dolar Amerika Serikat.
Hal itu menyebabkan komposisi rugi kurang lebih 30-40 persen dari kerugian Pertamina. “Yang ketiga ini terkait dengan crude. Dengan melemahnya crude price di second quarter menyentuh angka 19 sampai 20 dolar AS perbarel.”
“Dibandingkan posisi Desember 2019 63 dolar AS perbarel kita sangat terdampak sekali pada margin hulu,” ungkapnya.
“Padahal margin hulu penyumbang atau kontributor ebitda terbesar 80 persen,” tandasnya lagi. (pojoksatu/zul)