Melayat Drive-Through

Sabtu 08-08-2020,07:00 WIB

Almarhum juga contoh kerukunan. Terutama di dalam keluarga besar mereka sendiri. Waktu adik nomor 2 sakit, almarhumlah yang merawat. Sang adik sakit parkinson. Almarhum sampai menuntun sang adik ke kolam renang di sebuah hotel. Tiap hari. Sampai manajer hotel keberatan kok ada orang sakit renang di situ. Secara bisnis itu dianggap merugikan hotel. Tapi yang sakit itu manusia. Adalah hak setiap manusia untuk berolahraga.

Sang adik sangat berjasa di perusahaan keluarga ini. Ialah yang berhasil mengajak investor Taiwan masuk ke pabrik sepatu mereka. Almarhum juga punya kiat baru untuk menjaga kerukunan keluarga itu. Semua keluarga dibiayai untuk tur ke luar negeri. Harus bersama-sama. Tapi hanya keluarga yang wanita. Kakak-adik-ipar-sepupu harus ikut. Tidak boleh diikuti yang laki-laki.

"Pertengkaran keluarga biasanya dimulai dari perempuan-perempuan ini," ujar Helen menirukan ucapan almarhum.

Selama tur itu mereka bisa berkumpul lama. Dua minggu. Dalam suka dan duka. Juga harus kompak. Ada aturan dalam rombongan itu. "Yang muda harus menghormati yang lebih tua," ujar Helen. "Maka kakak kami tidak boleh angkat kopor. Kami yang angkat kopornyi," ujar Helen.

Helen bangga pada kiat kakaknyi itu. Sampai sekarang keluarga ini rukun. Bersatu dalam membesarkan pabrik. Helen punya usul ke sang kakak. Naik kelas ekonomi saja. Kan orangnya banyak. Sang kakak menolak: harus naik kelas bisnis. Nilai kerukunan itu, katanya, lebih mahal daripada kalau bertengkar.

Tapi almarhum sendiri tampil sangat sederhana. Ia adalah direktur utama di perusahaan itu tapi penampilannya seperti orang miskin. Ia lebih sering pakai sandal jepit. Bajunya tidak ada yang bermerek.

Suatu saat almarhum ke Singapura. Rapat. Malamnya ia ingin makan enak: minta steak daging Kobe. Mereka pun ke Marina Bay Sand. Gedung megah yang baru di pinggir laut itu. Pusat perjudian Singapura itu.

Sampai di restoran fine dinning itu alharhum ditolak masuk: pakaiannya lusuh, dan sandalnya jepit. Helen sudah berdebat dengan petugas restoran. Gagal. Lalu Helen melihat-lihat apakah ada pengunjung restoran itu yang pakai sandal jepit: ada!

"Lho itu pakai sandal jepit kok boleh?“ kata Helen.

"Kalau wanita boleh," jawab petugas.

Sang kakak tidak mau ribut-ribut seperti itu. Mau makan itu hati harus senang. "Untuk apa makan sambil marah?" ujar almarhum. Toh, mereka bisa mencari tempat makan yang lebih mahal. Pun bisa membeli restoran itu, kalau mau.

Suatu saat Helen memberikan hadiah sang kakak kaus Hugo Boss. "Eh... Dipakai tidur!" ujar Helen.

Banyak orang kaya seperti itu. Yakni orang kaya yang dulunya sangat miskin. Maka tidak enak menjadi orang kaya seperti itu. Anak mereka pun belum bisa enak. Pasti sering dimarahi. Agar jangan boros.

Yang enak itu adalah cucu-cucu mereka: tidak ada ceritanya kakek memarahi cucu. Mereka memang berangkat dari miskin. Pabrik sepatu ¬–salah satu terbesar di Indonesia– itu dimulai dengan susah payah. Awalnya hanya bikin sandal. Di atas kompor dapur. Dengan bahan baku hanya satu lembar karet. Karet itu dipotong-potong. Dibakar di kompor. Di dalam rumahnya di Jalan Jagalan No 27 Surabaya.

Sang ibu yang mengerjakan pembuatan sandal dengan cara sangat tradisional itu. Bukan ayah. "Ayah itu hobinya main musik," ujar Suhadi, adik Suwiro yang lain. "Beliau pandai memainkan alat-alat musik tradisional Tiongkok," tambahnya.

Sandal sederhana 'made in' Mama itu dijual di toko Palen di rumah itu juga. Laku. Dan kian laku. Hasil jualan sandal itu dibelikan karet lagi. Kali ini dua lembar. Sang Mama yang menjadikannya sandal. Laku terus. Bisa untuk membeli empat lembar bahan baku.

Tags :
Kategori :

Terkait