Kalau yang mem-bully adalah teman atau orang yang dia tidak kenal, Christy tidak akan seterpukul itu. Tapi ini justru diucapkan oleh orang yang selama ini dia jadikan panutan.
Seperti apa sih kata-kata bully itu sampai begitu hebatnya memukul jiwa Christy?
Christy tidak segera menjawab pertanyaan saya itu. Dia diam. Lama sekali. Menunduk. Matanyi berkaca-kaca. Pipinyi memerah. Rambutnyi menjuntai menutupi pipi. Hanya kacamatanyi yang seperti menahan air mata itu menetes.
"In English, ok," sela saya. Siapa tahu kalau diucapkan dalam bahasa Inggris bully itu lebih bisa terucapkan. Lidah Christy lebih Inggris dari Indonesia.
Dia tetap saja diam. Pandangannya ganti ke arah jauh. Matanya tetap sembab.
"??????, " sela saya lagi dalam bahasa Mandarin. Saya tahu dia bisa berbahasa Mandarin.
Dia tetap diam.
Saya biarkan saja dia diam. Sampai emosinyi mereda. Tapi saya tetap ingin tahu: kata-kata bully seperti apa yang bisa membuat seorang remaja begitu merana. Setidaknya saya akan belajar untuk diri saya sendiri. Terutama dalam menghadapi cucu-cucu yang sudah berangkat remaja.
Akhirnya Christi berucap. Lirih. Hampir tidak terdengar. Terutama di telinga orang yang hampir 70 tahun seperti saya. Jawaban Christy akhirnya jelas diucapkan. Justru saya yang kini merasa kurang jelas: benarkah jenis kata-kata seperti itu saja sudah bisa merusak jiwa seorang remaja?
“Apakah Anda tidak pernah dimarahi orang tua? “ tanya saya.
"Pernah dong. Kan biasa anak dimarahi orang tua," jawabnyi.
"Anda merasa sangat dimanjakan orang tua?“.
"Tidak."
"Tapi kenapa Anda begitu sensitif? “ tanya saya lagi.
"Karena, itu diucapkan oleh orang yang saya jadikan panutan," jawabnya.
Ups... Ternyata berat menjadi panutan itu. Kata dan kalimat yang diucapkan harus benar-benar terkontrol. Berat menjadi guru itu. Lebih berat lagi menjadi bos-nya para guru.