5 Mitos tentang Jakarta yang Harus Bikin Move On, Nomor 5 Milenial Juga Masih Sering Begitu

5 Mitos tentang Jakarta yang Harus Bikin Move On, Nomor 5 Milenial Juga Masih Sering Begitu

--

Awal pertama ke Jakarta, hampir semua orang dipusingkan dengan mitos mahalnya biaya hidup di ibukota. Apalagi biasanya ketika akan melamar pekerjaan semuanya harus menggunakan biaya bekal dari kampung.

Celakanya setelah diterima bekerja pun, kadang-kadang kita harus rela untuk menjalani training tiga bulan. Artinya jika prestasi atau kondikte kerjanya selama tiga bulan bagus, ada kemungkinan teken kontrak sebagai pegawai.

Tetapi jika tidak, maka kita harus siap-siap untuk mencari pekerjaan baru. Nah, dari kesiapan kita menghadapi tantangan di ibukota itulah, kemudian muncul anggapan-anggapan bahwa biaya hidup di Jakarta mahal.

Padahal mahal atau murahnya biaya hidup di Jakarta, tergantung gaya hidupnya masing-masing.

3. Kota Paling Macet Sedunia

Selain biaya hidup yang mahal, mitos lain yang paling sering orang sampiakan adalah Jakarta kota paling macet di dunia. Ternyata anggapan itu tidak seluruhnya benar, utamanya jika membandingkannya dengan lalu lintas di kota-kota besar seluruh dunia lainnya.

Memang tak sedikit orang yang lama tinggal di Jakarta mengaku menghabiskan 15-15 persen waktunya di jalan atau setara dengan 1-4 jam sehari. Apalagi bagi yang kali pertama datang ke Jakarta, tentunya ini akan menjadi pekerjaan yang tak mudah menyesuaikannya.

Namun, jika kemudian menganggap Jakarta sebagai kota paling ruwet di dunia juga kurang tepat. Ada perusahaan dunia yang menyebutkan Bangkok di Thailand dan Los Angeles di Amerika Serikat sebagai kota dengan kemacetan paling parah di dunia.

Tak sedikit pula yang memilih Mumbai di India, sebagai kota dengan transportasi paling parah. Di sana kemacetan bertambah parah dengan bunyi klakson yang bersahut-sahutan.

4. Semua Terukur dengan Uang

Memang anggapan orang banyak jika warga Jakarta lebih kaya daripada orang daerah bisa saja benar berdasarkan rata-ratanya. BPS pada tauhun 2017 menyebutkan GPD per kapita orang Jakarta sekitar 157 juta per tahun atau Rp13 jutaan per bulannya.

Coba bandingkan dengan pendapatan rata-rata di kota-kota besar lainnya, seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta yang punya GPD per kapita sekitar Rp2 juta per bulannya. Nah, karena memiliki pendapatan yang lim akali rata-rata lebih besar, buying powernya pun lebih tinggi.

Apalagi meski akan dipindah ke Kalimantan Timur, Jakarta saat ini masih menjadi pusat pemerintahan, hiburan, dan perdagangan. Meski begitu tidak semuanya lalu membuat orang Jakarta matre dan mengukur semuanya dengan uang.

5. Mau Sukses Harus Bekerja di Jakarta

Meskipun tidak selamanya benar, mitos tersebut kadung melekat di setiap orang-orang daerah yang ingin mengubah nasibnya. Bisa jadi Jakarta sebagai etalase Indonesia, sering digambarkan glamour dan serba ada serta mewah.

Sumber: