Mitos Gelar Haji yang Hanya Ada di Indonesia, Pemberian Belanda Agar Gampang Awasi para 'Pemberontak'

Mitos Gelar Haji yang Hanya Ada di Indonesia, Pemberian Belanda Agar Gampang Awasi para 'Pemberontak'

--

RADAR TEGAL - Setelah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci dan kembali ke Tanah Air, seseorang akan mendapatkan gelar haji atau hajjah secara otomatis di depan namanya. Tetapi tahukah Anda, jika ternyata gelar haji hanya ada di Indonesia.

Ya, biasanya gelar haji merupakan sebutan untuk menandai bahwa orang tersebut telah menunaikan rukun Islam kelima. Padahal di Timur Tengah maupun Negara Barat tidak ada orang bergelar haji, meskipun sudah pergi haji.

Tetapi kini gelar haji mulai berkembang di daerah Melayu, utamanya Brunei Darussalam dan Malaysia. Panggilan haji bagi orang yang sudah menunaikan rukun Islam di lingkungan masyarakat Tanah Air, sebenarnya sudah ada sebelum Belanda menjajah negeri kita.

Lantas, bagaimana sejarah dan mitos gelar haji di Indonesia?

Aroma politis gelar formal H dan Hj 

Penyematan gelar haji secara resmi dan formal baru mulai terjadi pada tahun 1916 silam. Dasarnya adalah Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.

Yakni mengatur gelar formal haji, yang saat ini menggunakan huruf H dan Hj di depan nama seseorang. Sedangkan haji sebagai panggilan sudah ada sejak zaman kuno.

Bukan tanpa maksud Belanda menyematkan gelar haji tersebut. Pemerintah Kolonial menandai mereka yang dicurigai terkontaminasi paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis.

Sekadar informasi, Pan-Islamisme adalah ideologi politik bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu. Yakni agar terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.

Jamaluddin Al-Afghani adalah yang kali pertama mencetuskan konsep dasar Pan-Islamisme ini, pada akhir abad ke-19 di Tanah Suci, tempat umat Islam menunaikan ibadah haji. Apalagi saat zaman Kolonial Belanda itu, seseorang bisa sangat lama menunaikan haji tidak seperti sekarang.

Gelar haji hanya ada di Indonesia

Apalagi biasanya di Tanah Suci, dulu seseorang tidak hanya menunaikan ibadah haji. Tetapi mengaji, bekerja, dan berbagai macam interaksi lainnya dengan sesama muslim yang berhaji dari berbagai negara.

Pengaruh paham Pan-Islamisme inilah yang membuat Pemerintah Belanda khawatir dan takut, hingga akhirnya menyematkan gelar haji sebagai penanda. Apalagi saat itu Belanda beranggapan musuhnya cuma dua, yakni komunis dan Pan-Islam.

Sehingga para haji yang baru kembali dari Tanah Suci dianggap membahayakan kolonial. Belanda mencurigai para haji terkontaminasi paham Pan-Islamisme saat berada di Mekkah, karena itu gelar haji sangat penting bagi Belanda.

Sumber: