Menkeu Sri Mulyani Sebut Harga Pertalite Seharusnya Rp14.450 Seliter, Solar Rp13.950

Menkeu Sri Mulyani Sebut Harga Pertalite Seharusnya Rp14.450 Seliter, Solar Rp13.950

--

JAKARTA, radartegal.com - Subsidi energi yang ditanggung pemerintah akan membengkak lebih dari Rp502 triliun, jika tidak dilakukan pengendalian kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pertalite dan solar yang tersisa.

Pernyataan itu diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja dengan Komite IV DPD RI di Gedung DPR/MPR RI, Kamis 25 Agustus 2022. Sri Mulyani mengungkapkan perbedaan antara harga keekonomian pertalite maupun solar dengan harga yang sudah disubsidi pemerintah.

Patokan harga keekonomian yang digunakannya, sebut Menkeu, adalah harga minyak mentah Indonesia (ICP) USD 100 per barel. Padahal saat ini harga tersebut telah merangkak naik ke USD 105 per barel seiring dengan situasi geopolitik dan nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS.

Disebutkan Sri Mulyani, saat ini harga jual eceran pertalite Rp7.650 per liter. Padahal, dengan asumsi ICP USD 100 per barel dan kurs 14.450 per dollar AS, seharusnya harga keekonomian pertalite adalah Rp14.450 per liter.

“Selisih sekitar Rp6.800 per liter itu yang kemudian dibayarkan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai kompensasi,” ungkap Sri Mulyani.

Sedangkan harga keekonomian solar, rinci Sri Mulyani, seharusnya Rp13.950 per liter. Ini adalah harga dengan asumsi ICP USD 100 per barel dan nilai tukar 14.450 per dollar AS.

Saat ini harga solar subsidi adalah Rp5.150 per liternya. “Jadi bedanya antara harga sebenarnya dengan harga berlaku itu Rp8.800 per liter.” 

Tidak hanya pertalite dan solar, subsidi lebih besar lagi yang harus ditanggung pemerintah adalah untuk LPG tabung 3 kilogram (kg). Saat ini, harga LPG tabung 3 kg di pasaran hanya Rp4.250 per kg.

Padahal berdasarkan harga keekonomiannya, seharusnya Rp18.500 per kg. Dengan demikian subsidinya lebih besar, sekitar Rp18.500 per tabung.

“Karena besaran inilah, waktu menyampaikan di DPR subsidi (awal) Rp 158 triliun jelas tidak cukup dan ini baru masalah harganya,” pungkasnya. (*)

Sumber: