G20, GCRG, dan COP26 Membuat Indonesia Berada di Posisi Sentral Pengaturan Transisi Energi

G20, GCRG, dan COP26 Membuat Indonesia Berada di Posisi Sentral Pengaturan Transisi Energi

Dengan terus berkembangnya isu perubahan iklim, yang salah satunya disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang dominan. Sehingga menimbulkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi.

Untuk itu, langkah-langkah mengurangi emisi GRK dengan mengalihkan penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT) menjadi hal yang harus terus dipikirkan.

Pada saat yang sama, dunia saat ini berada dalam terpaan krisis pangan, energi, dan keuangan yang dipicu oleh gejolak konflik di Ukraina, dan pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut meski jumlah kasus sudah menurun drastis.

“Penting bagi kita untuk mengenali situasi yang dihadapi, serta perlu memastikan bahwa kita sudah menyeimbangkan permintaan saat ini untuk energi konvensional, sambil tetap berkomitmen pada upaya transisi energi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam Jakarta Post Webinar dengan tema “G20 Energy Transition: Toward Zero-Emission Partnerships,” Selasa (24/5).

Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik meski di tengah pandemi, masyarakat Indonesia memiliki kebutuhan energi yang besar untuk menunjang aktivitasnya.

Namun, target elektrifikasi universal telah menjadi penghasil emisi GRK terkemuka, karena penggunaan tenaga batu bara menjadi berlipat ganda dan juga terlihat adanya peningkatan emisi GRK sebesar 140% antara tahun 1990 dan 2017. 

Dalam Presidensi G20 Indonesia, transisi energi juga menjadi salah satu tema utama karena seluruh negara yang terlibat ingin mencapai kesepakatan global dalam upaya memitigasi dampak buruk perubahan iklim untuk generasi mendatang.

Dalam forum G20 tersebut, Indonesia akan memperkenalkan skenario negara untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) yang disebut National Grand Energy Strategy (GSEN) yang mencakup rencana transisi dari energi fosil ke EBT.

Dalam gelaran COP26 akhir tahun lalu, Indonesia membuat komitmen iklim baru dengan menetapkan target NZE pada 2060 atau lebih awal. GSEN menjanjikan komitmen yang lebih ambisius dengan target 100% porsi EBT dalam bauran energi di 2060.

Dipatok pada kapasitas lebih kurang sebesar 587 GigaWatt (GW), pembangkit listrik tenaga surya diharapkan akan menghasilkan 361 GW, pembangkit listrik tenaga air sebesar 83 GW, pembangkit listrik tenaga angin sebesar 39 GW, pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 35 GW, pembangkit listrik tenaga bioenergi sebesar 37 GW, PLTP sebesar 18 GW, dan pembangkit listrik tenaga arus laut sebesar 13,4 GW.

“Permintaan dan potensi energi terbarukan di Indonesia semakin meningkat, sebab diperkirakan kebutuhan energi Indonesia juga akan meningkat semakin besar. Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki penambahan energi terbarukan yang konsisten dalam bauran energi secara keseluruhan. Hal ini tentunya merupakan perkembangan positif dalam pergeseran penggunaan energi di Indonesia menjadi energi hijau,” terang Menko Airlangga.

Penelitian menunjukkan transisi energi akan membutuhkan sejumlah besar investasi. Untuk mendorong hal ini, Indonesia akan memainkan peran penting dalam menerapkan pembiayaan hijau dan berkelanjutan yang inovatif, sekaligus memastikan jalur investasi yang tepat.

Indonesia juga mempertimbangkan untuk menyiapkan skema-skema inovatif dalam hal harga karbon, termasuk mekanisme pasar dan non-pasar.

Energi terbarukan juga diprediksi akan menciptakan banyak lapangan kerja. Keuntungan tidak langsung ini juga akan mencakup pemberdayaan transfer teknologi dan pengurangan ketergantungan pada impor produk minyak bumi dan batu bara. Hal ini diharapkan disumbangkan oleh produksi panel surya dan manufaktur kendaraan listrik.

Sumber: