Takut Sakit
Obat opium sintetis seperti itu bisa 100 kali lebih berbahaya daripada opium asli. Celakanya, kandungan obat seperti itu sering dimasukkan ke jenis obat bebas.
Purdue Pharma sudah tahu semua itu. Tapi, terus saja berpromosi untuk meningkatkan penjualan. Karena itu, OxyContin berhasil menjadi obat yang sangat laris di AS. Pendapatan satu tahunnya mencapai 3 miliar dolar AS. Sekitar Rp 43 triliun. Hanya di tahun 2017.
Dalam perjalanan suksesnya, Purdue Pharma akhirnya menetapkan diri sebagai spesialis di bidang obat painkiller. ”Orang itu menderita karena sakit. Purdue Pharma membuat orang tidak lagi menderita”. Kira-kira begitu moto corporate image-nya.
Ketika gugatan datang bertubi-tubi, Purdue Pharma akhirnya setuju: membayar 6 miliar dolar AS (sekitar Rp86 triliun) untuk rehabilitasi pasien yang kecanduan. Tapi, itu belum dianggap cukup. Mereka yang meninggal tidak bisa direhabilitasi. Dan jumlahnya begitu besar.
Perkembangan perkara obat painkiller itu tambah serius. Apalagi, pemilik perusahaan masih berusaha mengubah nama untuk penyelamatan masa depannya. Nama Purdue Pharma akan diganti dengan Knoa Pharma. Tujuannya: obat lain produk Purdue tetap hidup.
Richard Stephen Sackler, sang konglomerat, mewarisi perusahaan dari ayahnya. Mendiang sang ayah membeli perusahaan itu dari orang lain. Nama Purdue Pharma sama sekali tidak ada kaitan dengan Purdue University yang terkenal sekali itu. Yang Anda sudah tahu di mana kampusnya: di dekat Lafayette, Indiana. Hanya kebetulan nama pendiri Purdue Pharma ini John Purdue, meski sebenarnya punya nama belakang Gray. Sedangkan John Purdue yang terkait dengan Purdue University adalah seorang konglomerat dari Lafayette, Indiana, yang menyumbang uang dan tanah untuk mendirikan Purdue University. Itu pertengahan 1980 –puluhan tahun sebelum Purdue Pharma lahir di New York.
Sackler junior sendiri seorang dokter. Ketika bergabung ke perusahaan keluarga, Sackler junior itulah yang mengurus bagian riset, pengembangan, sekaligus yang memimpin marketing.
Sackler inilah, seperti ditulis The New York Times, yang mendorong agar obat sejenis yang lama, MS Contin, diganti dengan OxyContin. Ketika 1995 mengurus persetujuan dari FDA –BPOM-nya Amerika– Sackler beralasan OxyContin kurang membuat kecanduan jika dibandingkan dengan obat painkiller lainnya.
Yang membuat Sackler tidak berkutik adalah: ia pernah kirim e-mail ke semua stafnya. Isinya: meyakinkan staf bahwa kecanduan yang terjadi pada pasien bukan akibat kandungan OxyContin, melainkan kelakuan ”kriminal” dari penggunanya. Sackler juga ketahuan mendorong bagian penjualan untuk mengampanyekan penggunaan OxyContin dengan dosis yang lebih tinggi.
Sackler, duda tiga anak yang kaya raya itu, sekarang menghadapi perkara serius. Yang menggugatnya: ribuan orang/pihak. Bukan sepuluh atau dua puluh.
DPR Amerika Serikat sampai turun tangan: mengeluarkan UU agar jangan sampai hakim di perkara kebangkrutan itu memberikan perlindungan kekebalan kepada keluarga Sackler.
Obat memang bisnis besar. Semua orang takut sakit. Ketakutan seperti itulah yang dimanfaatkan produsen obat di mana-mana.
Takut sakit itu menyenangkan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: