Yafira 1.5

Yafira 1.5

Kan bisa dikontrol lewat WFH.

Di zaman penerbangan masih ramai, saya biasa mengejar pesawat jam 21.00. Agar kian banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan.

Kini tidak ada lagi penerbangan jam 21.00. Jam 20.00 pun tidak ada lagi. Yang jam 19.00 juga hilang.

Penerbangan terakhir pukul 18.00. Padahal acara terpenting saya, di Gatot Subroto Jakarta, baru mulai pukul 16.00. Itu kalau tidak molor.

Saya coba cari cadangan: pesawat Jakarta-Solo. Dari Solo saya bisa ke Surabaya jalan darat: hanya 2 jam.

Pesawat Jakarta Solo ternyata lebih sedikit lagi: berakhir lebih awal. Saya juga cari cadangan jadwal Jakarta-Semarang: bisa disambung jalan darat 3 jam. Justru ke Semarang berakhir pukul 16.00.

Saya tetapkan plan B: kalau saja tidak berhasil mengejar pesawat pukul 18.00, saya akan jalan darat lagi.

Istirahat di Cirebon dulu sambil rapat di situ. Pukul 03.00 berangkat ke Surabaya. Lima jam kemudian, pukul 09.00, sudah bisa sampai tempat acara di Surabaya. Hanya saja, sekali lagi harus mengorbankan olahraga pagi: benci sekali.

Ternyata semua itu tidak perlu. Saya bisa pamit duluan dari acara terakhir di Jakarta. Pesawat jam 18.00 pun terkejar. Bahkan masih sempat menulis naskah Disway di ruang tunggu –yang banyak dikomentari sebagai tumben tidak bermutu itu.

Yang penting: olahraga pagi keesokan harinya tidak jadi absen.

Hari Jumat kemarin itu saya ditunggu di Lamongan: di sebuah desa yang saya belum pernah ke sana.

Pagi itu hujan lebat. Sejak sebelum senam dansa berakhir. Hujan yang merata. Tanpa hujan pun jalan menuju Lamongan selalu macet: ada perbaikan yang berbulan-bulan. Saya harus berangkat lebih awal: bila perlu salat Jumat di desa itu saja.

Memang akan ada waktu satu jam menganggur. Setelah salat Jumat. Tapi bukankah sesekali harus ada masa menganggur.

Meleset.

Lalu-lintas lebih berat dari yang berat. Akhirnya saya salat Jumat di satu desa sebelum lokasi: masjid Muhammadiyah. Saya tidak melihat ada perbedaan dengan masjid NU: semua jamaahnya pakai sarung.

Sumber: