Pengajian Potehi
Bahkan, Toni bukan sekadar dalang. Ia bikin museum potehi –satu-satunya di Indonesia. Museum itu ia bangun di sebelah Kelenteng Gudo. Ia beli tanah di situ. Ia amankan museum itu dengan dua lapis pintu besi.
Ia pun membeli lemari besi –yang di zaman dulu dipakai menyimpan uang, emas, dan sertifikat tanah itu– untuk menyimpan wayang kunonya. Juga untuk buku kuno tentang potehi. Buku tebal tersebut unik: ditulis dalam huruf Jawa. Lengkap dengan gambar tokoh-tokoh utama wayang potehi.
”Silakan pakai ruang saya ini,” ujar Toni.
”Saya akan banyak bicara tentang Islam di pengajian ini,” kata saya setengah minta kerelaannya.
”Tentu. Kan, pengajian...,” katanya sambil tersenyum.
Saya pun memberi tahu pengurus MPP: bahwa lokasi saya memberikan pengajian itu di sebuah Kelenteng Gudo.
”Kebetulan, cocok dengan tema pengajian,” ujar Dini Kusmana, ketua MPP yang jadi moderator.
Dini itu cantik sekali –lima ”i”. Jilbabnyi rapat sempurna. Dia asli Ciamis. Ayahnyi seorang dokter ahli. Punya pesantren: di Saguling, Ciamis. Pesantren MD Fathahillah. Seorang ustad dimintanya mengurus pesantren itu.
Inspirasi tersebut dia peroleh dari Norwegia. Suatu saat Dini diminta mengisi pengajian kelompok ibu-ibu di Norwegia. Dia jadi ustadah. ”Kenapa saya tidak bikin juga di Prancis,” katanyi.
Wajah Dini sangat camera face: dia memang pernah bekerja di beberapa stasiun TV di Jakarta. Kini Dini memiliki media online –sambil jadi ibu rumah tangga di Prancis Selatan.
Suami Dini Prancis asli –kulit putih. Pasangan itu punya dua anak: adil –satu lahir di Bandung, satunya lagi di Prancis.
”Di mana pertama kenal suami?”
”Kenal sejak SMA,” ujar Dini.
”Anda sekolah SMA di Prancis?” tanya saya.
”Ia yang sekolah SMA di Indonesia. Pertukaran pelajar. Setahun tinggal di rumah ayah saya,” ujar Dini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: