Semeru 5 Cm
Lokasi jembatan itu juga disebut Piket Nol. Nama yang amat terkenal. Sampai pun saya harus ke sana suatu saat nanti —terlaksana bulan lalu.
Hari itu kami —saya, istri, dan dua temannya— berhenti di jembatan itu. Ingin melihatnya. Sekalian istirahat di alam pegunungan. Sambil menulis naskah Disway untuk edisi keesokan harinya.
Ternyata ada dua jembatan di situ: lama dan baru. Yang lama sudah tidak dipakai. Pagarnya sudah hilang. Kami berjalan di atas jembatan lama itu. Sambil agak mendongak —melihat jembatan baru yang lebih tinggi dan lebih kokoh. Yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari jembatan lama.
Sungai di bawah jembatan itu tidak banyak airnya —lebih banyak batunya. Musim hujan belum sungguh-sungguh tiba hari itu.
Jembatan lama ini praktis hanya jadi objek wisata. Sekalian tempat foto yang menarik. Sesekali terasa ada getaran kecil yang menggoyangnya. Sampai ada yang ketakutan. Mereka lari.
Jembatan lama inilah yang hanyut Sabtu sore kemarin. Sekalian dengan jembatan baru. Yang terlihat lebih tinggi dan kokoh itu.
Berarti banjir bandang lahar panas kali ini sangat besar. Lebih besar dari yang dulu-dulu.
Sebenarnya sudah sering banjir lahar Semeru seperti itu. Kadang lahar panas. Sering juga lahar dingin.
Banjir lahar panas terjadi kalau Semeru lagi meletus. Banjir lahar dingin terjadi kalau timbunan lahar di puncak Semeru longsor —akibat hujan yang deras.
Biasanya lahar itu mengalir ke tiga arah —Tenggara, Selatan, Barat Daya. Terbagi tiga. Kali ini, semua lahar itu longsor ke satu arah: ke arah piket nol.
Bagi orang seperti Ny Imam banjir lahar sudah biasa. Tidak menakutkan. "Malam banjir lahar, paginya sudah jadi dagangan. Yakni jadi pasir untuk dijual," ujarnya. "Lahar itu sudah kami anggap sebagai kiriman rezeki dari Gusti Allah," tambahnya.
Lumajang memang sumber pasir yang tidak habis-habisnya. Kakak Ny Imam pun punya sambilan jualan batu —di samping punya kebun salak. Saya memang melihat banyak sekali kebun salak di kawasan ini. Juga pohon sengon.
"Kebun salak kakak Anda selamat?" tanya saya.
"Harusnya selamat. Kebun itu di atas bukit," jawabnya. "Rumah ibu pun di atas bukit. Tapi rumah kakak-kakak ada di bawah," tambahnya.
Ny Imam, sampai umur 18 tahun, masih di desa itu. Dia hanya tamat SMP di situ. Lalu merantau ke Jakarta —kerja rumah tangga. Dalam perjalanan itu dia bertemu seseorang —sekarang menjadi suaminya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: