Sahabat D-dimer
Oleh: Dahlan Iskan
SUDAH empat bulan saya sembuh dari Covid-19. Tapi, D-dimer saya masih tetap tinggi: 1.850. Padahal, seharusnya, maksimum hanya boleh 500.
Itu pertanda bahwa di darah saya banyak cendolnya. Cendol darah. Padahal, darah saya sudah encer. Saya minum pengencer darah. Sehari sekali. Plafix 75 miligram. Sejak 3 tahun lalu –sejak pembuluh darah aorta saya pecah sepanjang 50 cm.
Berarti pencendolan darah bisa juga terjadi di darah yang encer. Tidak harus saat terjadi pengentalan darah.
Yang dikhawatirkan adalah: banyak sel darah lainnya yang ”nggamblok” ke cendol-cendol itu. Sehingga cendol-cendolnya membesar. Lalu –ketika beredar bersama darah ke seluruh tubuh– nyangkut di salah satu bagian pembuluh darah kecil. Menyumbat di situ. Kalau penyumbatan itu terjadi di otak, bisa mengakibatkan stroke. Kalau di jantung, mengakibatkan gangguan jantung.
Saya sudah sembuh dari Covid. Ternyata belum.
”Itulah yang disebut long Covid,” ujar seorang dokter. ”Biasa juga disebut happy hypoxia,” katanya.
Saya pun sadar: berarti ini sangat berbahaya. Begitu banyak orang meninggal karena happy hypoxia –tidak dicatat meninggal akibat Covid. Padahal, penyebab tingginya angka D-dimer itu adalah Covid-19.
Saya sudah lama dinyatakan sembuh. Sudah negatif Covid-19. Angka antibodi saya juga sudah tinggi: di atas 200 –waktu meninggalkan rumah sakit dulu.
Hidup saya juga baik-baik saja. Tidak ada keluhan apa pun. Olahraga tiap hari –satu jam nonstop. Naik bus Surabaya–Jakarta pergi pulang. Setir mobil sendiri ke Jakarta tiga kali.
Saya happy-happy saja.
Itulah happy hypoxia.
Berbagai upaya menurunkan D-dimer dilakukan dokter. Sejak di RS dulu. Gagal. Saya sendiri juga mengupayakannya. Dengan berbagai cara.
Waktu di RS, pertengahan Januari lalu, dokter memberi saya obat. Berupa tablet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: