Sarpras Minim, Warga Sangkanjaya Butuh Jalan Penghubung

Sarpras Minim, Warga Sangkanjaya Butuh Jalan Penghubung

Sarana dan prasarana (sarpras) infrastruktur jalan di Desa Sangkanjaya Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal tidak seperti desa-desa lainnya. Di desa ini, sarprasnya sangat minim. 

Kades Sangkanjaya Jaelani, Selasa (27/4) mengatakan, untuk 
menuju ke desa tersebut, hanya bisa melewati jembatan gantung. Lebarnya 1,5 meter dan panjangnya sekitar 100 meter. 

Selama ini, masyarakat di desa tersebut hanya mengandalkan jembatan itu untuk beraktivitas di luar desa. Bahkan, warga yang memiliki kendaraan roda empat atau lebih, tidak bisa diparkir di depan rumah. 

Mobil terpaksa diparkir di Desa Danawarih yang lokasinya di sebelah barat Desa Sangkanjaya. Jaraknya lebih dari 1 kilometer.

"Jumlah warga kami sebanyak 2000 jiwa dari 375 kepala keluarga (KK). Selama ini, kalau mau pergi ke luar desa, lewatnya ya jembatan gantung. Kami butuh jalan penghubung yang bisa dilewati mobil," katanya.

Mayoritas penduduk di desanya, tambah Jaelani, berprofesi sebagai petani, buruh, pegawai swasta dan perantau. Tidak sedikit warganya yang memiliki mobil dan motor roda dua. Warga yang memiliki mobil, parkirnya di desa tetangga. Mereka menyewa lahan dengan biaya sebulan mulai dari Rp200 ribu hingga Rp500 ribu. 

"Di desa kami ada 30 orang yang memiliki mobil. Kalau motor, setiap rumah punya. Dan motornya, masih bisa dibawa ke rumah. Karena jembatan gantung bisa dilewati motor dan pejalan kaki," tambahnya.

Sebenarnya, Pemkab Tegal, lanjut Jaelani, sudah pernah membuat jalan untuk akses mobil di Desa Sangkajaya hingga Desa Danareja Kecamatan Balapulang. Sebagian jalan merupakan lahan Perhutani dan tanah warga. Namun jalan itu sekarang tidak bisa dilewati mobil karena rusak parah. Bahkan, jalan tersebut sekarang sudah tumbuh ilalang dan rumput. 

Tahun kemarin sebenarnya sudah dianggarkan untuk perbaikan sekaligus pembangunan jalan lagi. Namun, anggarannya direfocusing untuk penanganan Covid-19.

Selagi desanya tidak bisa dilewati mobil, biaya hidup di desa tersebut akan mahal. Sebab, masyarakat kerap kesulitan ketika hendak membawa barang. Misal, saat membangun atau memperbaiki rumah. Material harus diangkut manual menggunakan gerobak dan melewati jembatan gantung. 

Jarak dari bibir jembatan sampai ke lokasi atau rumah warga sekitar 1 kilometer. Parahnya lagi, dari jembatan hingga desa, medannya sangat membahayakan. Jalan curam dan miring sehingga harus ekstra hati-hati. 

"Harapannya, pembangunan jalan harus menjadi program skala prioritas. Sehingga warga kami tidak kesulitan saat mengakses kendaraan roda empat," ujarnya. (guh/ima)

Sumber: