Menjerat Pelaku Penodaan Agama di Luar Negeri dengan Asas Nasionalitas Pasif dan UU ITE

Menjerat Pelaku Penodaan Agama di Luar Negeri dengan Asas Nasionalitas Pasif dan UU ITE

Oleh : Imam Asmarudin, SH.,MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal)


Umat muslim khususnya di Indonesia di tengah-tengah khusyuknya menjalankan ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan secara emosional kembali diuji dengan pangakuan seseorang yang mengaku dirinya sebagai nabi ke-26, nama Jozeph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoelyono mulai ramai dibicarakan baik di media cetak maupun elektronik.

Jozeph menyampaikan dalam forum diskusi via zoom yang juga ditayangkan di saluran YouTube milik Jozeph. Bahkan Jozeph Paul Zhang menantang siapa saja yang berani melaporkan dirinya ke kepolisian. 

Saat ini atas perbuatannya, Jozeph Paul Zhang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian, yakni diduga melanggar ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE karena melakukan ujaran kebencian dan Pasal 156a KUHP karena melakukan penodaan agama. 

Namun, Jozeph Paul Zhang mengklaim bahwa saat ini sudah berada di bawah hukum Uni Eropa karena diduga berada di negara Jerman, sehingga hukum Indonesia dianggap tidak mampu menjangkau dan menjeratnya, sehingga merasa lepas dari jeratan hukum Indonesia. 

Dengan kondisi yang seperti itu menjadi sebuah perdebatan dan rasa penasaran publik dapatkah pemerintah Indonesia melalui kepolisian Republik Indonesia untuk memproses hukum dan menjerat yang bersangkutan yang mengaku berada di bawah hukum Uni Eropa untuk diadili di Indonesia. 

Jangkauan hukum nasional terhadap warga negara pelaku kejahatan/kriminal yang ada di luar negeri memang sering menjadi sebuah perdebatan, mengingat dalam konsep hukum internasional dikenal istilah Sovereignty (kedaulatan) yang berkaitan sekali dengan yurisdiksi.

Artinya di dalam suatu kedaulatan terdapat suatu wilayah kewenangan/yurisdiksi yang melekat dan tidak dapat terpisahkan dari kedaulatan itu sendiri, meskipun demikian dalam mengimplementasikan kedaulatan negara, negara memiliki wilayah yurisdiksi. 

Yurisdiksi ini diperoleh dan bersumber pada kedaulatan negara, yaitu kewenangan atau kekuasaan negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam batas wilayah negara dan setiap negara juga memiliki kewenangan untuk memperluas yurisdiksi kriminalnya terhadap suatu tindak pidana sepanjang implementasi perluasan yurisdiksi kriminal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang diakui masyarakat internasional. 

Berkaca dari peristiwa dugaan tindak pidana penodaan agama yang dilakukan oleh Jozeph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoelyono yang menurut pihak berwenang masih berstatus WNI, namun kedudukannya berada diluar negeri menjadikan persoalan Yurisdiksi merupakan hal yang sangat krusial dan kompleks terutama menyangkut pengungkapan kejahatan di dunia maya yang bersifat internasional (international cybercrime), dengan adanya kepastian yurisdiksi, maka suatu negara memperoleh pengakuan dan kedaulatan penuh untuk berbagai aturan dan kebijaksanaan secara penuh, sehingga harus diakui  bahwa  menerapkan  yurisdiksi yang tepat dalam kejahatan di dunia maya  (cybercrime) bukan merupakan pekerjaan  mudah, karena  kejahatannya bersifat internasional sehingga banyak bersinggungan dengan kedaulatan banyak negara atau sistem hukum negara lain.

Asas Nasional Aktif dan Asas Nasional Pasif

Berkenaan dengan yurisdiksi tersebut, dalam hukum pidana dikenal beberapa asas yang menjadi dasar bagi pembentukan serta penerapan hukum. Asas-asas ini merupakan asas yang telah diakui oleh hukum Internasional sebagai dasar bagi suatu negara untuk menerapkan hukum yang berlaku di negara tersebut. 

Salah satu asas hukum dalam KUHP adalah asas nasional aktif (R. Soesilo menyebut dengan istilah prinsip nationaliteit aktief atau personaliteit), yakni  suatu  asas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara bagi setiap orang, warga Negara atau orang asing yang melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri, asas tersebut juga sering dikenal sebagai asas personalitas, hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada. 

Selain itu dalam ketentuan pasal 4 KUHP juga dikenal asas Asas Nasional Pasif yang menyebutkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia, artinya undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing-yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. 

Sumber: