Empat Misi Terawan
Rintisan Terawan di bidang kedokteran begitu banyak. Hampir semuanya mengundang kontroversi. Serunya kontroversi itu membuat Terawan kian terkenal sebagai dokter –kadang publik lupa bahwa ia itu tentara.
Kontroversi paling seru –dan panjang– adalah soal DSA itu. Kalangan dokter tidak bisa menerima cara membersihkan saluran darah di otak seperti yang dilakukan Terawan. Itu tidak ada dalam ilmu kedokteran. Itu bertentangan. Itu juga melanggar etik kedokteran. Itu harus dilarang. Izin dokter milik Terawan harus dicabut. Terawan harus diberhentikan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
IDI sudah menempuh prosedur yang benar –dan panjang– untuk sampai pada pemecatan itu: sesuai ketentuan organisasi.
Tapi Terawan tetap tidak merasa bersalah. Tidak ada prinsip kedokteran yang ia langgar. DSA itu terus ia jalankan –di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
Tentu peran pimpinan militer –atasan Terawan– sangat besar. Sehingga Terawan terlindungi dengan praktiknya itu.
Saya selalu memuji atasan Terawan yang berani mengambil risiko. Kalau saja atasan Terawan adalah sosok yang sensi mungkin DSA akan diperintahkan untuk diakhiri. Bahkan mungkin Terawan sendiri sudah mendapat sanksi militer.
Dengan kepemimpinan di tentara seperti itu DSA bisa jalan terus. Saya pun, waktu itu, jadi ingin tahu: seperti apa DSA itu. Saya lantas menjalaninya –meski tidak punya keluhan apa-apa. Yakni saat saya masih menjadi sesuatu dulu.
Saya akhirnya menjadi tahu praktik DSA seperti apa. Sebelum di-DSA otak saya harus di MRI. Setelah DSA harus di MRI lagi.
Setelah selesai DSA diperlihatkanlah hasil foto MRI-nya. Diperbandingan. Sebelum dan sesudah DSA. Terlihat jelas: begitu banyak saluran darah kecil-kecil di seluruh otak yang semula buntu (blok hitam) menjadi terbuka (saluran putih).
Praktik DSA-nya pun ternyata tidak sakit. Memang sempat muncul sedikit was-was saat saya akan berbaring di atas meja operasi. Terutama ketika dokter sudah memegang pisau iris.
Yang harus diiris adalah selangkangan saya. Untuk memasukkan kateter menuju otak.
Sambil menyiapkan pisau, Terawan mendendangkan lagu ''di doa ibu ada namaku''. Suaranya merdu. Nadanya sempurna. Saya terbawa ke makna lagu itu. Tidak terasa pisau sudah selesai menyayat selangkangan saya.
Saya pun menulis artikel –tiga seri– untuk menceritakan semua proses DSA waktu itu.
Tahun berikutnya saya mengajak istri untuk menjalaninya. Sang istri punya syarat: harus bersama saya. Maka saya pun menjalani DSA kali kedua.
Pun sampai sekarang DSA terus dilakukan di RSPAD Gatot Subroto. Bahkan kian populer. Kian banyak yang melakukannya. Kian banyak juga rumah sakit yang ikut mempraktikkannya –termasuk di Surabaya dan Solo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: