Komentari Putra Jokowi Gibran di Instagramnya, Warga Slawi Ditangkap, Pengamat: Polisi Berlebihan

Komentari Putra Jokowi Gibran di Instagramnya, Warga Slawi Ditangkap, Pengamat: Polisi Berlebihan

Seorang warga Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah ditangkap polisi, karena berkomentar terkait Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang diduga hoaks.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga menyebut penangkapan warga Slawi berinisial AM oleh polisi dinilai berlebihan. Penangkapan berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai kebebasan berpendapat dan berdemokrasi.

“Meskipun telah dilepaskan, ICJR menilai penangkapan yang dilakukan Kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan merupakan langkah mundur pasca pidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (16/3).

Dikatakannya, tindakan tersebut merupakan bukti pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU ITE. Selain itu, permasalahan utama juga terletak pada pemahaman aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, terkait dengan individu dan jabatan dalam konteks penerapan UU ITE.

“Pasal yang diduga oleh kepolisian dalam hal ini tidak berdasar dan tidak memiliki keterhubungan dengan peristiwa,” ucapnya.

Sustira menyebutkan, apabila ingin menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, pasal tersebut termasuk delik aduan yang absolut. Sebagai delik aduan absolut, yang boleh melaporkan hanyalah korban penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain korban.

“Maka yang menjadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut adalah apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak maka kepolisian telah salah dalam menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE,” tegasnya.

Kemudian jika kepolisian ingin menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, sambungnya, tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian tersebut adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif.

Dalam hal ini, ICJR menilai tidak ada ujaran kebencian yang dilakukan oleh warga tersebut, dimana unggahan tersebut ditujukan kepada Gibran secara individu, bukan sebagai golongan masyarakat tertentu.

“Jika pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam hal ini digunakan oleh Kepolisian maka semakin menunjukan eksesifnya implementasi UU ITE dan justru mengancam kebebasan berpendapat,” katanya.

ICJR juga mengkritik istilah restorative justice yang digunakan kepolisian. Sustira menyatakan, restorative justice atau RJ ditujukan untuk memulihkan kondisi antara pelaku, korban, dan masyarakat.

“Dalam kasus ini, apabila kasusnya adalah penghinaan, maka siapa korbannya? Sebab Gibran tidak melakukan pelaporan sama sekali,” imbuhnya.

Di sisi lain, ICJR turut menilai keberadaan polisi virtual atau virtual police justru difungsikan untuk mengawasi perilaku warga negara dalam berekspresi di dalam dunia digital.

Hal ini, menurut Sustira, jelas mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia dan justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau memberikan kritik atas jalannya pemerintahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: