Tak Ada Dokumennya, Lahan Areal LIK Takaru Jadi Temuan BPK

Tak Ada Dokumennya, Lahan Areal LIK Takaru Jadi Temuan BPK

Status pemanfaatan lahan di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Takaru di Jalan Raya Pantura Dampyak, Kecamatan Kramat menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Tengah (Jateng). Disinyalir, status lahan di kawasan tersebut tidak terdokumentasi, sehingga BPK meminta Pemkab Tegal melakukan penataan kembali.

Penataan itu ditindaklanjuti Pemkab Tegal dengan menggelar rapat yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Tegal, Widodo Joko Mulyono, didampingi Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinnaker), Nur Ma'mun dan Kabid Aset BPKAD, Asta Sediyadi, Senin (21/12). Rapat yang digelar di aula setempat menghadirkan seluruh pemilik bangunan di LIK yang mayoritas para pengusaha Industri Kecil Menengah (IKM).

“Rapat ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan pemahaman tentang tanah milik Pemkab Tegal dengan luas sekitar 8,8 hektare di LIK Takaru. BPK meminta untuk dilakukan penataan aset, karena selama ini tidak ada dokumennya,” kata Widodo Joko Mulyono yang akrab disapa dr Joko di hadapan para pengusaha logam yang memiliki pabrik di LIK tersebut.

Dia menjelaskan, LIK Takaru mulai dibangun pada tahun 1981 oleh dua kontraktor, yakni PT Dwi Tunggal Surya Jaya dan PT Eka Muda. Dokumen penunjukan dua kontraktor untuk membangun LIK ditemukan dan ditandatangani bupati Tegal.

Namun, untuk perjanjian kontrak kepemilikan gedung dan lahan tidak ada dokumennya. Meski demikian, tanah itu sepenuhnya milik Pemkab Tegal yang dibuktikan dengan sertifikat.

“Ini yang menjadi temuan BPK. Makanya, BPK minta untuk segera diselesaikan,” terangnya.

Dia menghendaki para pemilik bangunan bisa membantu untuk proses administrasi dokumen kepemilikan bangunan tersebut. Pemkab berharap agar pemilik bangunan sepakat untuk titik nol. Artinya, 56 bangunan yang ada di LIK bisa diserahterimakan ke Pemkab Tegal. Untuk proses selanjutnya, seperti tarif sewa dapat dimusyawarahkan kembali agar para pemilik gedung tidak keberatan.

“Jika menggunakan sewa, dasarnya dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). NJOP wilayah itu Rp5,6 juta, tapi para pemilik bangunan menawar Rp3 juta. Kami akan konsultasi ke BPK, apakah nilai itu patut atau tidak. Jika masih keberatan, maka bisa menggunakan retribusi. Selama ini, retribusi yang diterapkan Rp2 ribu permeter,” ujarnya.

Sementara, dalam rapat itu, sebagian besar pemilik bangunan sepakat untuk penyerahan aset ke Pemkab Tegal. Namun, ada beberapa pemilik yang meminta untuk mempelajari proses serahterima aset bangunannya. Utamanya bagi pemilik yang gedungnya dibangun dengan biaya pribadi.

"Permasalahannya, kami ada yang membangun gedung sendiri. Pakai uang sendiri. Dan proses pembangunan kami lakukan pada tahun 2000-an. Bukan pada tahun 1981 yang dilakukan oleh dua kontraktor itu," kata Jenudin, salah satu pemilik gedung di LIK Takaru.

Menurutnya, apabila gedung itu dibangun sendiri, bagaimana proses sewanya. Apakah bangunannya juga akan diserahkan ke Pemkab Tegal. Apakah sewa atau retribusinya disamaratakan dengan bangunan yang lama. Mestinya, tarifnya dibedakan.

"Parahnya lagi, ada salah satu gedung yang baru dibangun dan belum ditempati. Tentunya pemilik gedung itu juga belum mendapatkan hasilnya karena gedungnya masih baru. Yang seperti itu bagaimana, apakah mau diserahkan juga," cetusnya.

Kabid Aset BPKAD Kabupaten Tegal Asta Sediyadi menjelaskan, penyerahan itu bukan berarti mengusir para pemilik, tapi hanya sebatas menenuhi dokumentasi. Pemilik lama tetap bisa menggunakan gedung itu dengan surat perjanjian.

“Untuk besaran sewa bisa dibicarakan agar tidak memberatkan para perajin logam,” imbuhnya. (yer/gun/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: