Kebijakan Berubah-ubah, Pemerintah Tidak Hanya Rugikan Konsumen tapi Juga Pengusaha

Kebijakan Berubah-ubah, Pemerintah Tidak Hanya Rugikan Konsumen tapi Juga Pengusaha

Kebijakan pemerintah soal libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2020/2021 yang berubah-ubah mengakibatkan konsumen dan dunia usaha merugi. Pasalnya, kebijakan yang labil membuat masyarakat dan pelaku usaha dibuat bingung.

Ketua YLKI Tulus Abadi menjelaskan, kebijakanyang berubah-ubah secara mendadak membuat masyarakat mengganti rencana libur akhir tahunnya. Ini merugikan masyarakat karena dibebani biaya yang lebih mahal dari perhitungan awal.

"Pada titik tertentu merugikan masyarakat, masyarakat dibebani biaya baru," ujar Tulus dalam video daring, kemarin (20/12).

Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru-baru ini, di mana masyarakat diwajibkan untuk melakukan rapid test antigen jika hendak bepergian pada libur Nataru. Pemerintah juga memangkah libur akhir tahun karena lonjakan kasus Covid-19.

Beberapa kebijakan baru itu membuat sebagian masyarakat membatalkan perjalanannya ke luar kota. "Hotel dan pesawat mengeluarkan puluhan bahkan ratusan miliar untuk pengembalian (refund). Konsistensi penanganan ini penting," kata Tulus.

Di sisi lain, lanjut Tulus, berbagai kebijakan yang diatur pemerintah menimbulkan diskriminasi untuk angkutan umum. Salah satunya terkait pengguna kendaraan pribadi yang tidak diwajibkan rapid test atau tes Covid-19 lainnya.

Selain itu, kapasitas angkutan umum juga dibatasi. Sebagai contoh, kapasitas penumpang pesawat maksimal hanya boleh 70 persen. Tulus meminta pemerintah sebaiknya menelaah lagi seluruh kebijakan transportasi di masa pandemi. Terkait hal ini, kebijakan pemerintah harus adil antara angkutan umum dan pribadi.

Terpisah, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudistira menilai, pemangkasan libur panjang akhir tahun akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat konsumsi masyarakat.

“Libur Natal dan Tahun Baru ini puncak konsumsi rumah tangga tertinggi kedua setelah libur Idul Fitri, jika diperpendek pasti berdampak, khususnya ke sektor pariwisata,” kata Bima.

Menurut dia, pemangkasan libur panjang juga akan memberikan kerugian kepada pelaku usaha bidang perhotelan dan restoran karena mereka sudah menyiapkan stok lebih banyak mulai dari kamar hingga merekrut tenaga kerja baru.

“Mereka menyiapkan stok bahan baku dan kamar dan dari November mulai merekrut pegawai baru untuk menyiapkan peak season akhir tahun, tapi libur dipotong pasti banyak pengusaha kecewa, banyak dirugikan di sektor pariwisata,” katanya.

Dengan demikian, ia memperkirakan konsumsi akan tumbuh negatif kisaran 3-4 persen pada kuartal IV-2020 karena konsumsi rumah tangga berperan kisaran 56-57 persen terhadap pergerakan ekonomi dalam negeri. (din/zul)

Sumber: