Korupsi, Moral, Ketatanegaraan, dan Pandemi
Oleh: Dr. Imawan Sugiharto, SH, MH
Hampir bersamaan hanya berselang sepuluh hari, masyarakat dikejutkan dengan konferensi pers Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa telah terjadi operasi tangkap tangan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo pada 25 November 2020, kemudian tanggal 5 Desember 2020, KPK menetapkan Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dana basnsos Covid-19.
Kejadian ini menyita perhatian masyarakat sebab bertepatan dengan kondisi yang serba tidak menentu disegala bidang akibat pandemi COVID-19 baik dari sektor ekonomi, sosial, politik dan hukum.
Korupsi seakan menjadi penyakit yang tidak menemui ujung di negeri ini, berbagai seruan moral, sosialisasi anti korupsi dan pakta integritas yang telah ditandatangani seakan dianggap hanya seremonial yang lazim dilakukan oleh pejabat negara sebelum mereka menjabat namun tidak pernah dilakukan esensisnya setelah mereka memegang puncuk pimpinan.
Partai politik menjadi tertuduh utama karena dianggap gagal mendidik anggotanya untuk mematuhi segala peraturan negara padahal merekalah yang telah membuat sendiri melalui anggota dewannya di parlemen.
Korupsi Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara menjadi ujian pertama bagi ketua KPK karena sebelumya telah mengatakan bahwa semua pihak agar tidak menyalahgunakan bantuan sosial, karena ancamannya adalah hukuman mati melalui Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 (2) berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Sebab, pemerintah juga telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nonalam.
Sedangkan pada kasus Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dugaan menerima suap terkait izin ekspor bibit lobster yang sebelumnya dilarang oleh mentri Susi Pujiastuti melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016.
Bahkah nyata ketua KPK untuk membuktikan janji–janji yang pernah diucapkan di berbagai media untuk keras terhadap koruptor ditunggu oleh masyarakat menyelesaikan dua kasus besar dari dua anggota partai politik besar.
Masa pandemi COVID-19 dimana seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin, merasakan kesusahan untuk bertahan hidup namun para pejabat masih melakukan korupsi dana yang seharusnya untuk mereka bertahan hidup, secara moral beban penegak hukum lebih berat karena berhadapan dengan masyarakat yang harus mereka bela sedangkan satu sisi kekuatan besar koruptor.
Penyelesaian dua kasus besar tersebut juga merupakan pembuktian dan kepercayaan masyarakan terhadap lembaga antirasuah karena sebelumnya masyarakan apatis terhadap kepemimpinan Firli Bahuri di KPK yang dinilai masyarakat lebih mencerminkan sikap pemerintah namun dengan penangkapan dua mentri aktif dari dua partai pendukung pemerintah masyarakat mulai timbul kepercayaan kembali terhadap KPK masih komitmen memberantas korupsi di negeri ini.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan para pakar hukum tentang apakah korupsi harus ditangani sebagai masalah konstitusional, terdapat konsensus yang luas dalam literatur bahwa rancangan konstitusional dapat secara positif atau negatif mempengaruhi keberhasilan reformasi anti-korupsi.
Pada prinsipnya, konstitusi secara umum dipahami sebagai kerangka umum yang membatasi kekuasaan negara melalui pemisahan kekuasaan dan perlindungan hak-hak fundamental serta menyerahkan penyelesaian masalah sosial tertentu kepada proses legislasi.
Oleh karena itu, secara tradisional, tindakan anti korupsi diserahkan kepada undang-undang. Prinsip-prinsip umum yang diuraikan dalam konstitusi mengatur dasar-dasar untuk menciptakan lingkungan publik yang etis.
Prinsip panduan yang relevan dengan korupsi meliputi (Chêne 2014): pertama Keunggulan kepentingan umum, kedua prinsip yang mengatur administrasi publik, mengacu pada nilai efektivitas, efisiensi, transparansi, imparsialitas, akuntabilitas dan integritas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: