Pecel Impor

Pecel Impor

Tapi mencari lahan untuk pertanian korporasi tidak mudah. Bahkan mustahil. Untuk penggarapan secara korporasi diperlukan lahan 2.000 hektare. Utuh. Dalam satu hamparan. 2.000 hektare itu paling tidak.

Luasan itu disesuaikan dengan nilai ekonomi. Yakni agar sekalian dibuat pabrik pengolahan kacang. Setidaknya sampai setengah jadi. Agar tidak terjadi pembusukan.

Sudhamek pernah mencoba di Lombok. Hanya mendapat 500 hektare. Padahal sudah telanjur mendatangkan alat-alat berat. Akhirnya alat-alat berat itu ditarik kembali.

Kenapa tidak dicoba di Lampung? Yang tanahnya luas?

"Sudah juga," ujar Sudhamek pada Disway. "Kami tidak berhasil mendapat tanah seluas itu," katanya.

Di sana tanah memang luas, tapi sudah dimiliki oleh perorangan atau perusahaan. Sebagai orang swasta Sudhamek tidak bisa memaksakan pemilik tanah untuk pindah tanaman.

Di Jateng, khususnya sekitar Pati, Kudus dan Rembang, juga sangat baik untuk tanam kacang. Sudhamek pernah dibantu seorang kiai besar di kawasan itu. Agar bisa memperoleh lahan yang bisa dikerjakan secara mekanisasi.

Nyatanya juga tidak berhasil.

Lalu ada pemikiran baru: melirik lahan Perhutani. Yang secara data banyak telantar. Tidak produktif. Yang secara statistik luasnya ratusan ribu hektare. Bahkan jutaan hektare.

Tapi setelah dicoba, nyatanya hanya mendapat 200 hektare. Itu di Bojonegoro.

Pun tetap dicoba. Berhasil. Bisa 3 ton/hektare. Tapi tidak bisa lagi lebih luas dari itu. Dan tidak ekonomis untuk didirikan pabrik kacang di dekatnya.

"Sebenarnya berapa pun produksi kacang dalam negeri masih bisa diserap oleh pabrik kacang seperti kami," ujar Sudhamek –yang juga ketua ''dewan syura'' Permabudhi (Persatuan Masyarakat Buddha Indonesia) itu.

Kesempatan menyejahterakan petani lewat kacang tanah masih terbuka. Lihatlah harga kacang di toko-toko: Rp50.000/bungkus. Yang isinya tidak sampai 1 kg. Padahal harga kacang hanya Rp6.000/kg. Berarti kalau sejumlah petani bergabung dalam suatu korporasi pasti hebat. Sekalian punya pabrik pengolahnya. Agar harga Rp6.000 itu bisa berlipat-lipat.

Tentu sebenarnya bukan hanya kacang tanah yang penggarapannya sudah harus beralih secara korporasi. Petani sudah harus bersatu dalam sebuah usaha bersama. Sudah banyak yang menyadari itu. Tinggal siapa yang harus memulai. Tempulu belum kapital besar yang kelak akan menggantikannya.

Saya pun menjadi sadar bahwa kebiasaan saya makan pecel ternyata ikut menghabiskan devisa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: