Pecel Impor

Pecel Impor

Produksi pecel di pabrik tersebut mencapai 30 ton sebulan. Saya bangga. Ternyata masih banyak yang suka pecel. Saya pun melihat sebuah tronton merapat ke depan gudang. Tronton itu akan memuat pecel. Ups... Pecel kok sebanyak satu tronton. "Itu jurusan Jakarta," ujar I Ketut Ciptawan Wathin, penerus pemilik pabrik pecel itu.

Wathin adalah anak Kho Kek Hui, orang Medan pendiri pabrik pecel itu. Kho adalah orang yang merantau ke Surabaya untuk pertobatan hidup. Ternyata tidak hanya bisa jadi orang baik. Bahkan bisa sukses. Kisahnya akan dimuat secara bersambung di Harian Disway.

Waktu kecil, pecel itu barang mewah bagi saya. Tidak mudah untuk bisa makan pecel. Saya baru dibelikan pecel kalau habis sakit. Kadang saya sampai pengin sakit agar dibelikan pecel.

Di desa, zaman saya kecil, pecel itu untuk sarapan. Sesekali. Sebagai selingan mewah dari makan pagi yang rutin: ketela rebus, ganyong rebus, atau nasi sisa kemarin yang digoreng dengan minyak jelantah –minyak sisa goreng ikan asin atau tempe.

Saya tidak membayangkan bahwa pecel zaman sekarang kacangnya impor: dari India atau bahkan Afrika.

Maka sekarang ini kalau lagi makan pecel rasanya serasa ikut makan devisa.

Pabrik pecel seperti itu memang harus membeli kacang khusus. Yakni yang bijinya sudah melupakan kulitnya. Itu disebut kacang ose.

Hampir semua kacang ose yang ada di pasaran adalah barang impor. Produksi kacang dalam negeri biasanya sudah habis diborong oleh pabrik kacang - -justru ketika baru dicabut dari tanah.

"Kami harus segera mengolah kacang ketika masih segar. Ketika baru dipanen. Jangan sampai lewat 28 jam," ujar Sudhamek, pemilik pabrik raksasa kacang Garuda.

Itulah sebabnya pabrik-pabrik kacang Garuda harus di dekat basis produksi kacang tanah.

Orang seperti Sudhamek tidak bisa impor kacang. Kualitas kacangnya bisa turun selama perjalanan antar negara. Ia sepenuhnya mengandalkan produksi dalam negeri.

Karena itu orang seperti Sudhamek termasuk yang gelisah atas menurunnya produksi kacang dalam negeri.

"Satu-satunya jalan harus ada penanaman kacang secara korporasi," ujar Sudhamek, yang pernah menjadi ketua bidang di Komite Ekonomi Nasional itu.

Dengan pertanian secara korporasi, produksi per hektare bisa mencapai 3 ton. Dua kali lipat dari sistem pertanian tradisional.

Dengan produksi 3 ton/hektare berarti bisa menghasilkan Rp 18 juta/ha. Ini barulah bisa bersaing dengan tanaman lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: