Kepastian Isi UU Omnibus Law Dipertanyakan, Politisi PKS: Harus Beri Pembuktian Berupa Data-data

Kepastian Isi UU Omnibus Law Dipertanyakan, Politisi PKS: Harus Beri Pembuktian Berupa Data-data

Kepastian dari isi Undang-Undang Ciptaker yang baru saja disahkan pekan lalu dipertanyakan. Pemerintah terkesan main-main dalam merumuskan isi undang-undang.

Ini dapat dilihat dari adanya beberapa pasal yang tiba-tiba masuk, termasuk industri pertahanan yang kini jadi sorotan. Hal tersebut disampaikan Anggota Legislatif dari Fraksi PKS Mulyanto.

Menurutnya, banyak masyarakat yang membutuhkan kepastian dari undang-undang tersebut. “Masyarakat membutuhkan kepastian dari undang-undang tersebut. Oleh karena itu, kita harus memberikan pembuktian berupa data-data” ucap Mulyanto lewat keterangan resminya, Sabtu (17/10).

Mulyanto juga menjelaskan alasan PKS ikut serta dalam perumusan Undang-Undang Ciptaker yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat. “PKS memang menolak undang-undang ini karena cacat proses dan cacat substansi. Akan tetapi, kami ikut serta dalam perumusan ini agar dapat mengkritisi dan memasukkan pasal-pasal yang lebih baik untuk masyarakat ke depannya,” terang Mulyanto.

Ia sangat menyayangkan tindakan Pemerintah di kala pandemi ini. Ia mengharapkan pemerintah bisa membentuk suatu kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat.

Sementara itu, Fraksi PKS juga mengkritisi penjelasan Jubir Menteri Pertahanan RI bahwa RUU Ciptaker klaster pertahanan yang merevisi beberapa pasal dari UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan menjadikan sektor ini dinamis dan progresif untuk investasi.

Dia menyebut selama ini banyak swasta yang ingin masuk ke industri pertahanan. Dengan UU Cipta Kerja, swasta bisa berkontribusi. Penjelasan ini dikritisi oleh Anggota DPR RI, Toriq Hidayat yang mengatakan UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan sudah cukup.

“Melalui UU ini terlihat jelas keinginan pemerintah untuk mengarahkan kalangan swasta nasional lebih aktif di sektor produksi ketimbang menjadi agen semata. Seharusnya klaster pertahanan tidak usah masuk dalam klaster UU cipta Kerja,” tegasnya.

Ia menambahkan, dalam Pasal 11, UU No 16 tahun 2012 dinyatakan bahwa industri alat utama hanya bisa dikuasai BUMN yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara, swasta diizinkan diindustri komponen utama atau penunjang industri alat utama.

“Memang tampaknya industri pertahanan menjadi monopoli BUMN. Tapi menurut saya itu adalah hal yang wajar karena disitu menyangkut pertahanan negara, memproduksi bahan peledak, memproduksi persenjataan dan amunisi, radar dan sebagainya. Belum saatnya menyerahkan penuh kepada pelaku dunia usaha swasta bahkan swasta nasional sekalipun,” jelasnya.

Sedangkan dalam UU Cipta Kerja disebutkan, Industri alat utama merupakan badan usaha milik negara dan/ atau badan usaha milik swasta yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemandu utama (lead integrator) yang menghasilkan alutsista dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen baku, dan bahan baku menjadi alat utama.

Berikutnya, pada pasal 52 dalam UU 16/2012 dinyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dimiliki oleh negara. Kemudian kepemilikan modal atas industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku yang merupakan BUMN, paling rendah 51 persen modalnya dimiliki oleh negara.

Sedangkan dalam UU Cipta kerja bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh BUMN dan atau swasta yang mendapat persetujuan dari menteri pertahanan. UU Cipta kerja ini membuka peluang swasta untuk berinvestasi penuh dalam industri ini.

“Membangun Industri bidang pertahanan memang butuh investasi sangat besar. Namun membuka peluang Investasi kepada swasta tanpa batas, menurut saya juga salah. Industri Pertahanan merupakan sesuatu yang sangat strategis buat sebuah pertahanan negara. Tidak boleh dikuasai swasta nasional, apalagi swasta asing. Pemerintah harus pemilik investasi yang paling besar,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: