Pemerintan Hanya Sibuk Urusi Aturan, Politisasi Sembako Semakin Merajalela

Pemerintan Hanya Sibuk Urusi Aturan, Politisasi Sembako Semakin Merajalela

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI termasuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota hanya bisa tertegun melihat politisasi sembako yang merajalela di daerah. Padahal sebelumnya, lembaga tukang semprit pesta demokrasi itu telah memberikan warning kepada 23 daerah yang begitu rawan terhadap politisasi bansos.

Fakta ini terjadi di Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah, termasuk Kota Bandarlampung. Bawaslu setempat terkesan hanya bisa tertegun melihat kondisi yang terjadi. Pasalnya lembaga tersebut tidak bisa menindak dengan lemahnya regulasi. Alasannya, saat ini belum ada penetapan Paslon oleh KPU.

Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie mengatakan institusi berwenang berperan aktif mengawasi potensi politisasi bantuan sosial (Bansos), terkait virus corona (Covid-19) untuk kepentingan Pilkada 2020. DPR, hingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diharapkan mengawasi bansos.

”Sekarang ini kita terlalu mengandalkan institusi elektoral seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua institusi ini sejatinya berhadapan dengan ketidakpastian hukum bila turut memantau bansos Covid-19. Mereka menghimbau, tapi tak ada aturan yang mengikat. Jelas saja sebaran politisasi basos makin masif,” papar Jerry kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Senin (21/9).

Jerry berharap selain institusi elektoral, mestinya institusi pengawasan yang sudah ada seperti DPR, inspektorat dan kepegawaian melakukan pengawasan secara optimal.

”Kan sudah jelas dari awal, KPU dan Bawaslu itu terganjal ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada),” ungkap Jerry.

Aturan ini hanya melarang kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan untuk menguntungkan atau merugikan pasangan calon dalam waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

”Lalu bagaiman kandidat yang lain. Yang terjadi kemarin di sejumlah daerah di Lampung bukti bahwa Bawaslu hanya bisa tertegun dengan rusaknya demokrasi,” pungkasnya.

Sebelumnya Titi Anggraini menyatakan politisasi bansos terbiarkan, karena pengawasan politik melalui institusi pemilu justru tidak menjangkau hal tersebut. Dia menilai peraturan yang dibangun seharusnya tak hanya berlaku pada fase elektoral tetapi melihat pada kondisi yang berlangsung seperti masa pandemi saat ini.

Kemendagri sebagai representasi pembina politik dalam negeri harus tegas dalam membuat aturan-aturan yang berkaitan dengan kondisi politik. Salah satu yang harus disorot yakni kepala daerah petahana yang kemungkinan maju kembali di pilkada.

”Bantuan tidak boleh diindividualisasi pada kondisi politik tertentu,” terang mantan Direktur Eksekutif Perludem ini.

Sebelumnya, Ketua Bawaslu Lampung Fatikhatul Khoiriyah mengaku Bawaslu menjalankan fungsi pencegahan. ”Agar setelah penetapan tidak ada lagi pembagian barang di luar dari bahan kampanye yang boleh dibagikan,” kata Khoir.

Pencegahan tanpa penindakan, semestinya satu paket. Alih-alih regulasi seperti inilah, demokrasi bisa dimainkan. Meski demikian Khoir menekankankan bahwa semua pihak harus memahami tahapan-tahapan Pilkada.

”Tapi ya gak perlu media memberitakan bahwa saat ini boleh bagi-bagi nanti malah pada bagi-bagi. Sama-sama melakukan pendidikan politik yang sehat masyarakat dan juga menjaga kualitas Pilkada bebas dari politik uang,” kata Khoir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: