Pertamina Rugi Rp11,3 Triliun, Padahal Tahun Lalu di Periode yang Sama Untung Rp9,7 Triliun
Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah USD 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 sebesar USD 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun.
“Akibat tiga kebijakan pemerintah yang disebutkan diatas beban keuangan SB Rokan Rp 11,3 triliun. Kemudian, beban membeli crude domestic mahal Rp 9,25 triliun, dan biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp3 triliun, Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Apabila kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan PT Pertamina benar-benar sesuai konstitusi dan menerapkan prinsip-prinsip GCG, PT Pertamina tidak rugi,” terang Amin.
Apalagi, tambahnya, di tengah menurunnya harga minyak mentah dunia sampai titik terendah belakangan ini pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM sehingga rakyat menyubsidi Pertamina sampai triliunan rupiah.
Selain itu, rencana Pemerintah melalui Pertamina untuk menghapus BBM jenis premium dan pertalite juga disoroti anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani. Menurutnya, ini sebagai langkah yang tidak peka pada kondisi rakyat di tengah pandemi COVID-19.
“Pemerintah tidak peka pada penderitaan rakyat. Saat ini daya beli serta pendapatan masyarakat menurun. Banyak masyarakat yang tidak berpenghasilan karena di-PHK atau dirumahkan. Kenapa Pemerintah justru ingin menghapus premium dan pertalite? Artinya Pemerintah memaksa rakyat untuk membeli pertamax yang harganya lebih mahal,” ungkap Netty.
Dia juga menyinggung masih banyaknya rakyat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan. Penghapusan BBM jenis premium dan pertalite, lanjut Netty, akan semakin membebani.
“Perlu dicatat penghapusan BBM jenis premium dan pertalite akan berdampak pada banyak hal. Antara lain, kemungkinan harga-harga akan turut naik dan ini akan semakin memberatkan keluarga pra-sejahtera. Padahal ada sekitar 17 persen keluarga pra-sejahtera di Indonesia yang butuh bantuan pemerintah, bukan justru dibebani,” ucap Netty.
Dia meminta Pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut. Sebab, masih banyak rakyat yang menggunakan premium dan pertalite untuk kegiatan sehari-hari.
“Skema bantuan sosial dari pemerintah, baik berupa uang tunai, subsidi upah, kartu pra kerja atau bentuk apa pun, akan menjadi tidak bermakna. Bantuan itu kan untuk peningkatan daya beli masyarakat. Jika harga kebutuhan makin tinggi, bagaimana masyarakat bisa membeli. Ini kan sama saja pepesan kosong,” tandas Netty. (khf/fin/zul/rh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: