Defisit Kian Lebar, Pendapatan Anjlok, dan Hutang Menumpuk
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dari Januari hingga Juli 2020 menembus angka Rp330,2 triliun atau 2,01 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara realisasi pendapatan negara hingga Juli 2020 mencapai Rp922,2 triliun atau 54,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.699,9 triliun.
Dalam posisi ini, sejumlah pengamat pun menilai, Indonesia dalam kondisi tertekan. Apa pun caranya, tidak ada kata lain Pemerintah Pusat dan Daerah harus segera merealisasikan suplai stimulus guna menjaga daya beli masyarakat, dan membantu penguatan konsumsi rumah tangga maupun investasi, yang merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pasalnya, jika rentang kendali yang begitu besar dari sisi defisit anggaran, dan konsumsi masyarakat, jelas berimplikasi pada semua sektor. Yang paling rawan adalah jumlah pengangguran yang bertambah, angka kriminalitas naik, dan kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah pun turun.
”Psikologi masyarakat sekarang ini sudah berbeda. Keluar, cari makan. Agar semua kebutuhannya terealisasi. Keselamatan jiwa, risiko yang ada terabaikan, karena perut. Masyarakat tak mau tahu soal angka-angka yang disodorkan pemerintah. Baik soal defisit anggaran, apalagi soal pemasukan negara,” tandas Sosiologi dari Universitas Lampung Maruli Hendra Utama, Selasa (25/8).
Penetrasi utang negara, sambung mantan Aktivis 98 itu, harus mampu direalisasikan dalam wujud kerja. ”Bukan wujud kerja untuk pemerintah itu sendiri. Tapi untuk rakyatnya. Sekali lagi jangan bicara berapa yang sudah disuplai untuk rakyat yang terdampak, tapi bagaimana menggairahkan ekonomi. Itu kuncinya,” jelas Maruli kepada Fajar Indonesia Network (FIN).
Maka, sambung Maruli tekankan pada stimulus. Bantuan lunak dan keringanan bunga bagi mereka yang menyodorkan bantuan. ”Jangan sodorkan angka-angka kepada rakyat. Suplai stimulus, tidak berbelit-belit. Itu paling utama. Realisasikan segara, jangan menunggu terlalu lama,” tandasnya.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pendapatan tersebut turun 12,4 persen (yoy) dibandingkan periode sama 2019 yaitu sebesar Rp1.052,4 triliun yang tumbuh 5,8 persen dari Juli 2018.
”Pertumbuhannya adalah minus 12,4 persen yang salah satunya karena semakin banyak masyarakat dan dunia usaha yang memanfaatkan insentif pajak,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (25/8).
Pendapatan negara turun, karena penerimaan perpajakan terkontraksi hingga 12,3 persen (yoy) yaitu hanya Rp711 triliun atau 50,6 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.404,5 triliun.
Ia merinci penerimaan perpajakan terdiri atas penerimaan pajak Rp601,9 triliun yang realisasinya 50,2 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp1.198,8 triliun dan terkontraksi hingga 14,7 persen (yoy) dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp705,4 triliun.
”Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi sepanjang Januari hingga Juli tahun ini yang disebabkan perlambatan ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Untuk PPh migas yang terealisasi Rp19,8 triliun atau 62,1 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp31,9 triliun, terkontraksi hingga 44,3 persen dibanding periode sama tahun lalu Rp35,5 triliun.
Sementara, untuk PPh nonmigas yang terealisasi Rp582,1 triliun atau 49,9 persen dari target dalam Perpres 72/2020 yakni Rp1.167 triliun, turut mengalami kontraksi mencapai 13,1 persen dibanding Juli 2019 sebesar Rp669,9 triliun.
Kemudian, untuk penerimaan kepabeanan dan cukai terealisasi Rp109,1 triliun atau 53 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp205,7 triliun yang mampu tumbuh 3,7 persen (yoy) dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp105,2 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: