Wahyu Setiawan Dihukum Enam Tahun Penjara, Kuasa Hukum: Vonis Tak Didasari Pertimbangan Hukum
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan enam tahun penjara dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Selain itu, Wahyu juga divonis denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/8).
Majelis hakim menyatakan Wahyu terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang suap terkait PAW anggota DPR RI F-PDIP senilai SGD57.350 atau setara Rp600 juta. Hakim mengatakan uang itu diterima Wahyu Setiawan guna memuluskan langkah bekas Caleg PDIP Harun Masiku untuk menduduki kursi di Senayan melalui mekanisme PAW.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan Wahyu terbukti menerima gratifikasi senilai Rp500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan terkait proses seleksi di KPUD Papua Barat. Uang itu disebut diberikan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat Rosa M Thamrin Payapo dan bertujuan agar Wahyu mengupayakan orang asli Papua terpilih menjadi anggota KPUD.
"Menetapkan penangkapan dan penahanan dikurangkan seluruhnya," kata Susanti.
Majelis hakim juga menolak permohonan Wahyu Setiawan untuk menjadi "justice collaborator" (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. "Majelis tidak dapat menetapkan terdakwa sebagai 'justice collaborator' karena tidak memenuhi persyaratan SEMA No 4 tahun 2011," sebut Susanti.
Adapun majelis hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bebas dari korupsi, perbuatan terdakwa berpotensi mencederai hasil pemilu sebagai proses demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat, serta terdakwa telah menikmati hasil kejahatannya sebagai hal yang memberatkan putusan.
Sementara, terdakwa berlaku sopan di persidangan dan terdakwa memiliki tanggungan keluarga dipandang menjadi hal yang meringankan putusan oleh majelis hakim.
Kendati demikian, majelis hakim yang terdiri atas Susanti, Panji Surono dan Sukartono tak mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK untuk mencabut hak politik Wahyu selama empat tahun setelah menjalani masa hukuman. Selain itu, vonis untuk Wahyu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan.
Atas putusan tersebut, JPU KPK menyatakan bersikap pikir-pikir selama tujuh hari guna menentukan langkah hukum selanjutnya. Jaksa perlu menunggu salinan putusan resmi dari majelis hakim guna melakukan analisa langkah hukum.
"Atas putusan itupun nantinya kami akan diskusikan dengan tim, langkah hukum apa yang akan kami lakukan dan pastinya salinan putusan yang tadi dibacakan pun itu kami masih menunggu. Karena tadi yang dibacakan adalah poin-poinnya," ujar JPU KPK Takdir Suhan.
Takdir menambahkan, pihaknya juga tengah mempertimbangkan untuk menelusuri penerimaan gratifikasi senilai Rp500 juta oleh Wahyu dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan. Hanya saja, kata dia, hal itu perlu didiskusikan lebih lanjut dengan tim JPU dan penyidik.
"Ya analisa kembali. Karena bagaimanapun kita juga mesti mendiskusikan dengan tim, kemudian kepada penyidik, fakta-fakta hukum apa yang bisa digali, kaitannya dengan isi putusan tadi yang memang sependapat dengan yang disampaikan di dalam tuntutan JPU," tutur Takdir.
Sementara itu, Tony Hasibuan, Anggota Tim Kuasa Hukum Wahyu Setiawan menilai, putusan kliennya tak didasari pertimbangan hukum yang komprehensif. Menurutnya, banyak hal yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Wahyu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: