Pak Menteri Nadiem Makarim, Banyak Siswa Putus Sekolah karena Tak Bisa Akses Pembelajaran Online
"Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal dan hambatan teknis lainnya. Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak bertindak semaunya," katanya.
KPAI juga menerima laporan, salah satu SMKN di Jawa Timur tidak menaikkan siswa karena tidak menyerahkan tugas-tugas selama PJJ daring. Di sisi lain, orang tua siswa yang bersangkutan berkukuh bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktu penyerahannya sudah mendekati tenggat.
Orang tua tersebut mengatakan selama pandemi, tidak ada interaksi antara guru dengan siswa. Para siswa hanya diberi penugasan. Orang tua siswa tersebut kemudian dipanggil oleh sekolah.
"Kemudian, sekolah itu mengatakan akan memberi kelonggaran jika bersedia dimasukkan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), karena anak tersebut memiliki IQ 89 dan kesulitan dalam menulis, padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis," tuturnya.
Namun, lanjut Retno menjelaskan, bahwa orang tuanya mengaku bahwa anaknya memiliki kemampuan verbal dan psikomotor yang baik. Anak tersebut kemudian menjadi tertekan secara psikologis karena dirinya dianggap sebagai anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, orang tua siswa tersebut lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.
"Jika kehadiran yang dipakai sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti PJJ secara daring," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menilai, kesenjangan yang terjadi selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa menurukan kualitas pendidikan.
Sebab, masih banyak daerah yang masih sulit mengakses internet dan listrik. Ada 46 ribu satuan pendidikan selama PJJ tidak mendapatkan layanan pendidikan daring. Ini belum termasuk yang tidak memiliki gawai.
"Pendidikan kita kualitasnya jelas akan menurun," kata Satriwan.
Satriwan menuturkan, PJJ menunjukkan adanya ketimpangan pendidikan. Sebab, siswa-siswa yang berada di kota-kota besar dengan akses internet bagus sangat mudah mengakses pembelajaran secara daring. Namun, hal itu berbading terbalik di daerah-daerah terpencil.
"Di pedalaman NTT, di Alor, Ngada, Jayawijaya, persoalan listrik, akses internet, gawai juga. Itu membuat semrawut, kondisi ini membuat pendidikan kita tidak berkualitas," pungkasnya. (der/zul/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: