Skema Burden Sharing Tak Kerek Neraca Keuangan

Skema Burden Sharing Tak Kerek Neraca Keuangan

Skema burden sharing atau berbagi beban yang diinisiasi Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dinilai ekonom tidak mengerek neraca keuangan, nilai tukar Rupiah, hingga inflasi.

Dosen senior Universitas Perbanas sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, skema burden sharing tidak berdampak pada neraca keuangan nasional.

"Saat ini yang jadi titik krusial adalah bagaimana uang yang sudah beredar dikelola pemerintah untuk pemilihan ekonomi, untuk membantu UMKM, korporasi, kesehatan, diharapkan efektif," ujarnya dalam video daring, kemarin (10/7).

Menurutnya, burden sharing justru sangat tepat untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis ekonomi. "Di tengah jurang krisis ini, kita harus tepat merespon. Semua sedang melakukan upaya menghindari krisis, fiskal dan moneter harus berjalan seiring, berbagi peran dan beban," jelasnya.

Namun keberadaan skema burden sharing akan membantu pemerintah terkait pembiayaan yang meningkat sebesar Rp903 triliun, sebagai akibat dari defisit fiskal yang melebar dari 1,76 persen menjadi 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Dalam hal ini, BI bisa kembali menyerap uang yang sudah beredar. Bagi pemerintah, ada sumber pembiayaan dan bantuan dari BI untuk menanggung bunga," paparnya.

Sementara Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, skema burden sharing di mana BI melakukan pembelian obligasi pemerintah di pasar primer menunjukkan belum ada tanda-tanda adanya kenaikan pertumbuhan uang secara signifikan pertumbuhan perekonomian nasional.

"Dilihat secara tren memang ada peningkatan pertumbuhan M1. Namun, pertumbuhan uang tersebut masih terjaga karena tingkat pertumbuhan tahunan dari M1 dan M2 masih lebih rendah dari tahun lalu," katanya.

Akibatnya, lanjut Josua, inflasi diperkirakan masih akan cenderung rendah. "Perlambatan inflasi ini, selain karena akibat terbatasnya dampak kebijakan pemerintah, juga disebabkan oleh melambatnya permintaan barang dan jasa," ucapnya.

Ia memperkirakan laju inflasi pada tahun ini masih akan bergerak di kisaran target sasaran BI, yaitu 3 persen plus minus 1 persen.

Sedangkan, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan burden sharing, bisa menggairahkan investor di tengah pandemi Covid-19.

"MoU antara Kemenkeu dan BI, Bank Indonesia akan menjadi stand by buyer. Artinya jika pasar tidak lagi mampu menyerap (SBN), BI akan menjadi stand by buyer sebagai non-kompetitif bidder, dengan guarantee option atau private placement. BI tidak akan mengubah market yield dan menyerap penerbitan baru," kata Suahasil dalam keterangan persnya, kemarin (10/7).

Diketahui, pemerintah dan BI setuju membagi beban dampak Covid-19 ke dalam dua kategori yaitu public goods seperti kesehatan, perlindungan sosial dan belanja tambahan untuk Kementerian/Lembaga (K/L), serta pemda yang jumlah totalnya Rp397,56 triliun. Untuk kategori public goods ini, pemerintah akan menerbitkan serangkaian Surat Berharga Negara (SBN) yang bisa diperdagangkan (tradable) dan marketable dengan BI reverse repo rate.

Sementara untuk non public goods yaitu untuk UMKM, korporasi di luar UMKM dan lainnya totalnya Rp505,90 triliun. Khusus untuk UMKM, pemerintah akan menerbitkan SBN tradable dengan BI reverse repo rate, dan BI akan mengembalikan bunga (rebate) ke pemerintah dengan 1 persen rate point. Sisanya akan ditanggung pemerintah. Jadi, pemerintah akan membayar bunganya ke BI.

Ketiga, untuk lainnya, seperti insentif fiskal, investasi pemerintah ke Penyertaan Modal Negara (PMN), maka SBN akan fully market rate atau dilepas dengan harga pasar penuh. Pemerintah akan menerbitkan SBN seperti biasa dengan harga pasar dan tidak berbagi beban dengan BI atau biaya sepenuhnya akan ditanggung pemerintah. (din/zul/fin)

Sumber: