Parliamentary Threshold Tak Efektif untuk Sederhanakan Partai Politik

Parliamentary Threshold Tak Efektif untuk Sederhanakan Partai Politik

Wacana menaikan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen menjadi 7 persen dinilai tak efektif menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Sebagai bukti jumlah partai yang lolos ke parlemen pada Pemilu 2009 dan 2014.

Heroik M. Pratama, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan penetapan ambang batas parlemen tidak akan efektif di negara yang menganut sisetm multi partai. Hal tersebut berdasarkan indeks effective number of parliamentary parties (ENPP).

"Ketentuan ini mengategorikan sistem multipartai di parlemen, yaitu multipartai sederhana (1-5 partai) dan ekstrem (di atas 5)," katanya, Minggu (28/6).

Dia mencontohkan pada Pemilu 2009. Pada Pemilu tersebut jumlah partai politik (parpol) yang lolos ke parlemen sebanyak sembilan dari 38 parpol peserta. Saat itu, ambang batas parlemen yang ditetapkan yaitu 2,5 persen.

"Nyatanya sistem kepartaian kita tetap multipartai ekstrem. Indeks ENPP yaitu 6,6 (persen)," katanya.

Selanjutnya, Pemerintah dan DPR sepakat menaikkan ambang batas parlemen pada Pemilu 2014 menjadi 3,5 persen. Namun, kenaikan ambang batas tersebut justru membuat parpol yang lolos ke DPR bertambah menjadi 10 parpol.

"Sekalipun ada 10 partai di parlemen tapi partainya tetap multipartai ekstrem. Indeksnya ENPP 8,2," ungkap dia.

Upaya penyederhanaan parpol di parlemen kembali dilakukan pada Pemilu 2019 dengan menaikkan ambang batas parlemen menjadi empat persen. Namun, jumlah partai dan indeks ENPP tidak berkurang signifikan.

"Pada 2019, jumlah peserta yang lolos ke parlemen sebanyak sembilan parpol. Sementara indeks ENPP 7,2," ujar dia.

Terkait ambang batas tersebut, Fadli Ramadhanil yang juga peneliti Perludem mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, besaran angka ambang batas parlemen harus dirumuskan secara terbuka.

"Kita tidak akan memohon ke MK untuk menghilangkan ambang batas parlemen tetapi hitung besaran ambang batas parlemen itu harus dilakukan dengan rumusan yang terbuka," katanya.

Dituturkannya, peserta pemilu dan semua pemangku kepentingan harus paham rumusan mana yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menentukan angka ambang batas parlemen. Sebab, hal itu akan sangat berpengaruh pada proporsionalitas hasil pemilu.

"Problemnya sekarang besarannya berapa nah ini yang tidak pernah dibuka kepada kita dan tidak pernah dirumuskan secaa fair besaran 4 persen ini datangnya dari mana. Setelah dicek dari hasil pemilunya ternyata besaran angka yang ditetapkan ini justru menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu," tuturnya.

Oleh sebab itu, Perludem ingin ada sistem Pemilu yang proporsional. Fadli menyebutkan asas jujur dan adil di pasal 22 (E) ayat 1 UU Pemilu. Menurutnya dua hal itu penting dan berkorelasi terhadap keadilan dari setiap pemilu, serta keadilan juga dari pemilih yang memberikan hak suaranya.

Sumber: