Password Yudiu
Yudiu pun ke Amerika. Mendarat di San Francisco. ”Ini lah Amerika itu...,” kata hatinya.
Dari pantai barat itu Yudiu harus menjalani program pengenalan di pantai timur Amerika: di New York. Oh... Di situlah bapaknya dulu sekolah. Yang ketika ia berhasil ke kota itu ayahnya sudah kembali ke Jogja. Sudah menjadi wakil rektor IKIP.
Akhirnya Yudiu mendapat orang tua asuh di negara bagian Oregon. Di pantai barat. Di utaranya San Francisco. Setelah seminggu di New York, Yudiu harus balik lagi ke pantai barat. Terbang lagi lima jam.
Di situlah Yudiu masuk SMA. Di sebuah kota kecil bernama Albany. Ia harus tinggal di sebuah keluarga kulit putih. Yang juga aktivis gereja.
Pekerjaan ”orang tua angkat” -nya itu tukang pipa. Bukan orang kaya. TV-nya hitam putih --ketika di rumahnya di Jogja TV-nya sudah berwarna.
Ia pun harus tinggal satu kamar dengan anak-anaknya.
Yang Yudiu heran: keluarga ini kok punya dua mobil. Kelak ia tahu bahwa mobil di Amerika itu penting sebagai alat kerja --bukan lambang kemewahan. Dan memang tidak mahal.
Ia belajar banyak soal toleransi. Anak Islam taat yang harus tinggal di keluarga Kristen taat. Yudiu melihat betapa ”bapak”-nya itu menghormati keyakinan Yudiu --termasuk soal makan babi.
Ia juga belajar hidup. Waktu itu sepatunya sudah jebol. ”Bapak” nya itu tahu. Lalu membicarakannya.
”Apakah kamu perlu membeli sepatu baru?” tanya sang bapak.
”Iya. Tapi saya tidak punya uang,” jawab Yudiu.
Sang bapak pun memberi tahu jalan mendapat uang. Asal Yudiu mau berkeringat. Yakni menjadi tukang potong rumput di halaman tetangga. Sang bapaklah yang akan mengantarkan ke para tetangga itu.
Yudiu pun mengambil pelajaran sangat berharga. Meski masih SMA anak Amerika sudah diajar mandiri. Ia pun melakukan pekerjaan potong rumput itu. Toh pakai mesin. Mirip dengan bermain.
Yudiu pun bisa membeli sepatu. Dengan uang hasil keringatnya sendiri.
Ia juga belajar keras --meski tiap hari juga bermain sepak bola: posisinya penyerang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: