Dakwaan Ringan Dua Oknum Polisi Penyiram Novel Baswedan adalah Tuntutan Sesat

Dakwaan Ringan Dua Oknum Polisi Penyiram Novel Baswedan adalah Tuntutan Sesat

Tuntutan rendah terhadap dua pelaku penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan sangat menyita perhatian publik. Sejumlah pihak menganggap tuntutan JPU ini mencederai dan menabrak rasa keadilan.

Teranyar, Juru Bicara Imam Besar FPI (Front Pembela Islam) Habib Rizieq, Abdul Chair Ramadhan menilai tuntutan jaksa terhadap dua oknum polisi penyerang Novel Baswedan sebagai tuntutan yang sesat.

Menurut Abdul, jaksa penuntut umum yang harusnya memperjuangan hak-hak Novel, justru malah memerankan diri sebagai penasihat hukum kedua terdakwa, yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir.

"Tuntutan Penuntut Umum satu tahun penjara terhadap terdakwa kasus penyiraman Novel Baswedan jelas telah mencederai fungsi penegakan hukum. Tuntutan tidak sesuai dengan fakta hukum. Selain itu, juga tidak sesuai dengan ajaran ilmu hukum," kata Abdul dalam keterangan yang diterima, Sabtu (13/6).

Menurut Direktur Habib Rizieq Center ini, motif pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan tidak bisa didasari dengan alasan tidak sengaja.

Sebab, kesengajaan terhadap perbuatan dan menimbulkan suatu akibat tidak bisa dipisahkan.

"Suatu akibat yang walaupun tidak diinginkan oleh pelaku, tetap itu harus dipertanggungjawabkan. Kesengajaan adalah tanda adanya kesalahan sebagai unsur subjektif yang ada pada pelaku. Akibat perbuatan dalam kasus a quo justru menjadi dasar penuntutan dengan menggunakan ancaman hukum yang terberat, bukan sebaliknya," kata dia.

Dia menilai dalil tuntutan jaksa yang ingin memberikan pelajaran kepada Novel adalah tuntutan yang sesat. Menurut dia, tidak pada tempatnya alasan tersebut didalilkan oleh jaksa penuntut umum.

"Alasan tersebut layaknya digunakan oleh pihak penasehat hukum. Di sini terkonfirmasi penuntut umum menempatkan dirinya sebagaimana layaknya penasihat hukum. Dengan kata lain, tuntutan penuntut umum jelas mengandung pembelaan terhadap pelaku," kata dia.

Abdul memandang harusnya jaksa menggunakan Pasal 355 Ayat 1 KUHP sebagai dasar tuntutannya. Sebab, menurut dia, sudah demikian jelas pelaku melakukan perbuatan penganiayaan berat dengan perencanaan terlebih dahulu.

Abdul menilai harusnya perbuatan pelaku terancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. "Tuntutan a quo bertentangan dengan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, hakim harus menjatuhkan putusan dengan melebihi tuntutan penuntut umum," tandas dia. (tan/jpnn/zul)

Sumber: