Pelecehan Seksual di Dunia Pendidikan Kesehatan: Antara Gangguan Jiwa dan Tanggung Jawab Hukum

Senin 22-09-2025,08:45 WIB
Reporter : Taufiq Ismail
Editor : Taufiq Ismail

Radartegal.com - Fenomena pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk di wahana praktik pendidikan tenaga kesehatan. Ironisnya, pelaku justru kerap berasal dari pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing, seperti mentor atau senior.

Kondisi ini menimbulkan luka ganda bagi mahasiswa yang sedang belajar, selain trauma pribadi, mereka juga kehilangan rasa aman di ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuh dan berkembang sebagai calon tenaga kesehatan.

Situasi semacam ini tidak boleh dianggap remeh, karena akan berdampak panjang pada kualitas pembelajaran maupun pelayanan kesehatan di masa depan.

Dari perspektif kesehatan jiwa, pelecehan seksual tidak bisa dipandang hanya sebagai tindakan amoral atau pelanggaran etika semata, melainkan juga cerminan adanya gangguan dalam pola pikir dan perilaku pelaku.

Dalam ilmu psikiatri, tindakan menyalahgunakan kekuasaan untuk memuaskan dorongan seksual sering dikaitkan dengan bentuk gangguan kepribadian atau penyimpangan perilaku. Pemahaman ini penting agar masyarakat menyadari bahwa pelecehan seksual adalah tanda bahaya yang serius, bukan hal sepele, dan perlu ditangani dengan pendekatan medis sekaligus sosial.

Individu yang memiliki kecenderungan seperti ini seharusnya mendapatkan evaluasi serta intervensi kejiwaan sebelum perilaku mereka meluas dan merugikan orang lain.

Namun, di luar aspek kejiwaan, pelecehan seksual juga merupakan tindak pidana yang diatur secara jelas dalam hukum Indonesia. Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah memberikan payung hukum yang kuat.

Dalam UU tersebut, pelecehan seksual mencakup berbagai bentuk, dari sentuhan fisik yang tidak diinginkan, ucapan bernuansa seksual, isyarat tubuh yang melecehkan, hingga pemaksaan hubungan intim. Semua bentuk ini memiliki konsekuensi hukum yang bisa menjerat pelaku dengan pidana penjara maupun denda. Artinya, pelecehan seksual tidak hanya “salah secara moral”, tetapi juga jelas dapat diperkarakan secara hukum.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah terhadap lembaga atau wahana praktik itu sendiri. Kasus pelecehan seksual yang terjadi, meski seringkali tidak dilaporkan karena korban takut atau memilih memaafkan, dapat menurunkan citra lembaga dan mengikis kepercayaan masyarakat.

Bayangkan bila orang tua ragu mengirim anaknya praktik di rumah sakit atau institusi tertentu karena dianggap tidak aman. Reputasi yang rusak tidak hanya merugikan lembaga, tapi juga berdampak pada dunia pendidikan kesehatan secara luas.

Karena itu, penting bagi institusi untuk menciptakan budaya aman, transparan, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang melindungi korban.

Pada akhirnya, keberanian korban untuk melapor menjadi kunci pencegahan berulangnya kasus serupa. Masyarakat dan dunia pendidikan harus membangun suasana yang mendukung korban untuk bersuara tanpa rasa takut. Dengan demikian, setiap laporan bisa menjadi pintu masuk perbaikan sistem, bukan sekadar membuka aib. 

Pelecehan seksual adalah masalah serius yang menyentuh ranah kesehatan jiwa, hukum, etika, dan pendidikan. Kita semua, baik sebagai individu maupun institusi, memiliki tanggung jawab untuk memastikan ruang belajar tetap aman, sehat, dan bermartabat.

Dalam psikologi klasik, Sigmund Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga sistem pengendali diri yaitu id (dorongan naluri), ego (rasionalitas), dan superego (nilai moral). Ketika id berkuasa tanpa kendali ego dan superego, lahirlah perilaku menyimpang seperti pelecehan seksual.

Maka, menjaga kesehatan jiwa berarti juga menjaga keseimbangan dalam diri, mengendalikan dorongan dengan akal sehat, serta menundukkannya pada nilai moral dan hukum. Inilah pesan penting bagi kita semua, bahwa pencegahan pelecehan seksual bukan hanya tugas hukum dan institusi, tetapi juga tanggung jawab pribadi dalam membangun kontrol diri dan kesadaran moral.

Kategori :