R adartegal.com- Heboh pembicaraan mengenai makanan dengan nama "beer", "wine", "tuak", hingga "tuyul" yang mendapatkan sertifikat halal mendapat respon dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH).
Hal itu rupanya terjadi berawal dari banyaknya pelaku usaha membuat nama-nama aneh untuk menarik minat konsumen.
Namun, BPJPH mengimbau agar pelaku usaha menyesuaikan nama produk yang sejalan dengan substansi dari makanan atau minuman tersebut.
"Itu yang diatur supaya nama-nama itu menyesuaikan dengan substansinya. Disamakan dengan zatnya. Disesuaikan dengan bahan baku, bahan tambahan, bahan campuran maupun proses produksinya itu. Sudah halal, namanya yang baiklah supaya mencerminkan kehalalannya," ungkap Kepala BPJPH Kemenag M Aqil Irham di Jakarta, Kamis 3 Oktober 2024.
BACA JUGA: Fatwa MUI soal Boikot Produk Israel Direspon Wapres Ma'ruf Amin: Harus Pemerintah yang Menyeleksi
BACA JUGA: Bela Palestina, Berikut 5 Diktum Fatwa MUI Beserta Rekomendasi untuk Pemerintah
Terkait perbedaan yang mengenai standar kata-kata yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pengunaannya untuk mendapatkan sertifikat halal ini, menurutnya, karena tafsir masing-masing ulama.
"Dari sisi fatwa itu mereka, kalangan ulama, itu memutuskan dengan tafsir yang berbeda-beda. Persoalan nama-nama itu, misalnya ditoleransi, sehingga lolos. Oh nama ini nggak boleh, ini sudah terlalu parah, nggak dilolosin," imbuhnya.
Menurutnya, hal ini merupakan kewajaran di antara para ulama.
Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya hanya berhak menerbitkan sertifikat halal dengan berdasarkan hasil sidang ketetapan halal.
BACA JUGA: Isi Fatwa MUI Terbaru Terhadap Agresi Israel, Haram Konsumsi Produk Pro-Israel
BACA JUGA: Fatwa MUI Haramkan Dukung Israel: Semaksimal Mungkin Menghindari Produk yang Terafiliasi
Selain itu, tidak ada perbedaan kriteria produk yang bisa mendapatkan sertifikat halal melalui self declare dan reguler oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Diakuinya, menurut Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020, terdapat ketentuan mengenai produk halal yang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku di masyarakat.
Imbas hal ini, muncul narasi bahwa mekanisme pendaftaran produk halal terbaru melalui self declare menjadi penyebab lolosnya kata-kata tersebut.