RADAR TEGAL - Siapa yang tidak mengenal Aksara Jawa atau Aksara Hanacaraka? Aksara ini sudah digunakan sejak zaman dahulu untuk menulis naskah-naskah berbahasa Jawa. Aksara Hanacaraka merupakan aksara tradisional yang berkembang di daerah Jawa.
Melansir berbagai sumber, terdapat dua pendapat mengenai asal usul aksara Jawa atau Hanacaraka. Pendapat tersebut juga didasarkan oleh beberapa bukti yang ada, hingga kini kedua pendapat tersebut melekat dalam perjalanan aksara Jawa.
Pendapat pertama mengatakan bahwa aksara Jawa terdiri dari gabungan dua aksara yakni Abugida dan Kawi yang digunakan antara abad ke 8 hingga ke 16. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa aksara Jawa berasal dari seorang pengembara yang bernama Aji Saka.
Sejarah Aksara Jawa Hanacaraka
Dahulu kala, Aji Saka ingin mengalahkan Raja Dewata Cengkar yang kerap menyiksa para rakyat dalam kepemimpinannya. Kemudian, Aji Saka dan Raja Dewata Cengkar terlibat pertarungan sengit.
Kala itu, beruntungnya Aji Saka mampu mengalahkan Raja Dewata Cengkar menggunakan pusaka yang ia miliki. Setelah berhasil mengalahkan, Aji Saka berniat untuk menyimpan pusaka yang sudah ia gunakan agar disimpan pada tempat tersembunyi.
Aji Saka memberikan perintah pada abdinya yang bernama Sembada untuk menjaga pusaka tersebut di Pulau Majeti. Tidak hanya menitipkan, Aji Saka juga berpesan kepada Sembada agar tidak memberikan pusaka kepada siapapun kecuali Aji Saka.
Namun demikian, suatu hari Aji Saka membutuhkan pusaka tersebut dan mengutus abdi lainnya bernama Dora agar mengambil pusaka tersebut di Pulau Majeti. Saat Dora sampai, ia bertemu dengan Sembada yang sedang menjaga pusaka milik Aji Saka.
Kemudian, Dora menyampaikan pesan dari Aji Saka yang membuatnya berada di Pulau Majeti. Sembada yang berpegang teguh dengan permintaan Aji Saka menolak memberikan pusaka kepada Dora. Sementara di sisi lain, Dora merasa benar karena Aji Saka yang memintanya untuk mengambil pusaka di Pulau Majeti tempatnya kini berada.
Aji Saka menyadari telah melakukan kesalahan dengan memberikan perintah yang berbeda kepada kedua abdi setianya. Kesalahan dari Aji Saka membuat kedua abdinya bertarung untuk mempertahankan amanah masing-masing yang menyebabkan keduanya harus meninggal.
Hal inilah yang membuat Aji Saka mengabadikan kisah Dora dan Sembada dalam aksara ukiran yang kini dikenal dengan nama Hanacaraka atau aksara Jawa. Sejak saat itu, aksara Jawa Hanacaraka mulai digunakan secara resmi untuk menuliskan surat-menyurat sejak berdirinya Majapahit sekitar abad 17 Masehi.
Demi memudahkan dalam penulisan, aksara Jawa mulai dibukukan pada abad ke 19 Masehi. Pada masa perkembangan Hindu Buddha di tanah Jawa, Hanacaraka telah digunakan sebagai penerjemahan bahasa Sansekerta.
BACA JUGA: 5 Mitos Pernikahan Adat Jawa yang Perlu Diketahui, Weton Membawa Keberuntungan?
Setelah itu, perkembangannya berlanjut pada periode agama Islam yang berlangsung sejak zaman kesultanan Demak hingga Pajang berakhir. Aksara Jawa digunakan untuk menuliskan ajaran agama Islam dan kitabnya. Penggunaan aksara Jawa yang paling terkenal pada masa tersebut ialah Serat Suluk Wujil dan Serat Aji Saka.
Demikianlah kedua pendapat mengenai asal usul aksara Jawa yang berkembang hingga kini, penggunaan aksara Jawa mungkin tidak sebanyak dulu tetapi selalu dilestarikan terus menerus dari generasi ke generasi dengan menambahkan materi aksara Jawa pada muatan lokal sekolah.*