Bebrapa tulisan bernuansa Islam nampak terbaca seperti kelompok “Intelectueel Islam Haroes Insjaf”, tulisan “Pers Kolonial Dan Journalistennja”, tulisan “Oemat Islam Moesti Sedar!”, tulisan “Agama Islam Dalam Pimpinan Allah”, profil beberapa tokoh (seperti M. Ghandi dari India, Coolidge dan Hoover dari Amerika, Ibn Saoed dari Arab), berita tentang Ormas Islam (seperti Muhammadiah), berita pendidikan, iklan seputaran puasa dan Hari Raya, serta ucapan dan puisi Hari Raya oleh redaksi surat kabar.
"Dari surat kabar Soeara Atjeh ini juga tidak ditemukan satu pun berita berkaitan dengan mudik, meskipun surat kabar ini sangat kental dengan nuansa Islam," beber Ichwan.
Dari analisis kedua surat kabar itu jelas tampak bahwa tidak ada satupun berita atau tulisan yang mengabarkan tentang kondisi mudik setidaknya untuk wilayah Aceh dan Sumatera Timur.
"Dengan demikian konsep mudik tidak ada kaitannya dengan Idul Fitri. Mudik juga belum tentu berkaitan dengan banyaknya kaum migran atau perantau," katanya.
Deli dan Sumatera Timur merupakan tempat bersesak kaum migran (dari Jawa) dan perantau (dari Minang dan Mandailing) sejak akhir abad 19.
Tapi tidak ada kegelisahan “mudik”, “pulang kampung”, atau semacamnya yang ahistoris. Kenderaan waktu itu sudah ada, bus, kereta api, kapal laut, sepeda, sado.
Dalam beberapa pemberitaan orang biasa untuk berbagai urusan naik sepeda dari Tanjung Pura atau Tebing Tinggi ke Medan. Tapi tidak ada rombongan mudik.
Koran Pewarta Deli edisi 18 Juli 1917, Koleksi Arsip Museum Sejarah Pers Medan.
Menurut Ichwan mudik merupakan fenomena sosial modern yang mungkin berkaitan dengan ketidak nyaman dunia rantau, kota, atau industrilisasi yang membuat hampa hidup manusia modern, sehingga merasa perlu “pulang”.
"Mudik juga penanda pembangunan yang terkonsentrasi di kota kota besar, yang banyak ditelaah para sosiolog dan antropolog. Implikasi nya, arus migrasi menumpuk di kota, lalu rindu kampung atau kota kota kecil tempat asal. Dehumanisasi kehidupan kota yang dibahas dalam teori kebudayaan?" katanya.
Momen yang pas dipilih adalah “lebaran” itu, jadi jangan-jangan substansinya bukan untuk merayakan Idul Fitri tetapi tempat “pulang”nya sosok yang kesepian dan gelisah di perantauan.
Dulu (tahun 1917 dan 1930) banyak kaum migran muslim di Deli, tapi tak ditemukan para pemudik yang gelisah untuk “pulang” itu.
"Anda mudik? Kenapa? Ada dua kemungkinan, anda sepi dan gelisah di rantau atau anda rindu, terhutang jarang mengunjungi kampung. Atau keduanya. Atau ada sebab lain? Yang jelas bukan karena idulfitri , tradisi itu tidak ditemukan dalam arsip sejarah panjang Islam," tutur Ichwan.