Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, militer Belanda disebut terlibat dalam kekerasan yang sistematis, berlebihan, dan tidak etis.
Demikian hasil tinjauan sejarah yang dipaparkan pada konferensi pers, Kamis (17/2). Studi sejarah itu sendiri didanai Pemerintah Belanda 2017 lalu, yang dilakukan oleh sebuah panel yang beranggotakan akademisi dan pakar dari kedua negara.
Pemerintah Belanda sendiri tidak pernah sepenuhnya memeriksa atau mengakui ruang lingkup tanggung jawabnya akan perang di masa lalu seperti yang dikabarkan Channel News Asia.
Berbagai temuan dalam tinjauan itu dipresentasikan pada konferensi pers, Kamis, setelah sejumlah temuan penting bocor, Rabu (16/2) malam. Pemerintahan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte diharapkan akan menanggapi temuan itu, Kamis (17/2).
Belanda diketahui telah menggunakan kekerasan berlebihan dalam perang --untuk merebut kembali kekuasaan atas bekas jajahannya pada periode itu-- bukanlah hal yang mengejutkan lebih dari 70 tahun kemudian.
Laporan tersebut menyebutkan pula bahwa tentara Indonesia juga menggunakan kekerasan yang "intens" ketika mengobarkan perang gerilya dan awalnya membidik kelompok minoritas Indo-Belanda dan Maluku.
Namun, pemerintah Belanda belum pernah melakukan pemeriksaan menyeluruh atau mengakui tanggung jawabnya. Sebelumnya, 2013 lalu, duta besar Belanda untuk Indonesia mengeluarkan permintaan maaf atas eksekusi mati yang pernah dilakukan saat perang.
Selanjutnya pada tahun 2020, saat berkunjung ke Indonesia, Raja Willem-Alexander membuat permintaan maaf yang mengejutkan atas 'kekerasan yang berlebihan' selama konflik.
Sementara Oktober 2020, Pemerintah Belanda mengatakan, akan menawarkan kompensasi hingg 5.000 Euro (sekitar Rp81,4 juta) kepada anak-anak Indonesia yang telah dieksekusi selama konflik.
Kini, kedua negara sedang menikmati hubungan ekonomi yang kuat. Tapi perang tersebut masih menjadi topik yang sensitif di kalangan korban dan veteran. (antara/zul)